Tuesday 18 August 2009

Thalasemia

Thalesemia adalah penyakit herediter yang diakibatkan oleh lesi genetic yang menurunkan sintesis globin α atau β pada Hb A (adult : A1) (α2β2) ( Kumar, 1999). Penyakit ini ditandai dengan gejala utama pucat, perut tampak membesar karena pembengkakan limpa dan hati, apabila tidak diobati dengan baik akan terjadi perubahan bentuk tulang muka dan warna kulit menjadi menghitam. Penyebab penyakit ini adalah kekurangan salah satu zat pembentuk hemoglobin (Hb) sehingga produksi hemoglobin berkurang.
Haemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi untuk mengahantar oksigen ke seluruh tubuh dan membawa 23% total karbondioksida sebagai hasil akhir metabolism tubuh dari tubuh untuk dibuang. Berangkat dari fungsi fisiologis tersebut, hemoglobin merupakan komponen yang vital bagi tubuh untuk dapat berfungsi dengan baik.
Setiap sel darah merah mengandung 280 juta molekul hemoglobin. Setiap molekul hemoglobin terdiri dari dari protein yang disebut globin dan bagian nonprotein yang disebut heme. Globin terdiri dari 4 rantai polypeptide (2 rantai alfa dan 2 rantai beta) sedangkan heme mengikat 4 rantai polypeptide tersebut (Tortora, 2006)









Kandungan zat besi yang terdapat dalam hemoglobin membuat darah berwarna merah.




Kadar normal hemoglobin
Kadar hemoglobin menggunakan satuan gram/dl. Yang artinya banyaknya gram hemoglobin dalam 100 mililiter darah.
Nilai normal hemoglobin tergantung dari umur pasin :
• Bayi baru lahir : 17-22 gram/dl
• Umur 1 minggu : 15-20 gram/dl
• Umur 1 bulan : 11-15 gram/dl
• Anak anak : 11-13 gram/dl
• Lelaki dewasa : 14-18 gram/dl
• Perempuan dewasa : 12-16 gram/dl
• Lelaki tua : 12.4-14.9 gram/dl
• Perempuan tua : 11.7-13.8 gram/dl
Katabolisme hemoglobin

Hemoglobin yang dilepaskan dari sel sewaktu sel darah merah pecah, akan segera difagosit oleh sel-sel makrofag di hampir seluruh tubuh, terutama di hati (sel-sel kupffer), limpa dan sumsum tulang. Selama beberapa jam atau beberapa hari sesudahnya, makrofag akan melepaskan besi yang didapat dari hemoglobin, yang masuk kembali ke dalam darah dan diangkut oleh transferin menuju sumsum tulang untuk membentu sel darah merah baru, atau menuju hati dari jaringan lain untuk disimpan dalam bentuk faritin. Bagian porfirin dari molekul hemoglobin diubah oleh sel-sel makrofag menjadi bilirubin yang disekresikan hati ke dalam empedu. (Guyton & Hall, 1997 dalam Harnawatiaj, 2009)

Kelainan proses pembentukan globin, bagian protein dari hemoglobin akan mengakibatkan thalasemia, dengan kata lain penyakit thalassemia disebabkan oleh adanya kelainan/perubahan/mutasi pada gen globin alpha atau gen globin beta sehingga produksi rantai globin tersebut berkurang atau tidak ada. Akibatnya produksi Hb berkurang dan sel darah merah mudah sekali rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Bila kelainan pada gen globin alpha maka penyakitnya disebut thalassemia alpha, sedangkan kelainan pada gen globin beta akan menyebabkan penyakit thalassemia beta.
Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik). Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia (Homosigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia.
Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat thalassemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen thalassemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen globin beta normal dari kedua orang tuanya.

Dari skema diatas dapat dilihat bahwa kemungkinan anak dari pasangan pembawa sifat thalassemia beta adalah 25% normal, 50% pembawa sifat thalassemia beta, dan 25% thalassemia beta mayor (anemia berat).
Bagaimana terjadinya gejala pucat atau anemia?
Warna merah dari darah manusia disebabkan oleh hemoglobin yang terdapat di dalam darah merah. Hemoglobin terdiri atas zat besi dan protein yang dibentuk oleh rantai globin alfa dan rantai globin beta. Pada penderita thalassemia beta, produksi rantai globin beta tidak ada atau berkurang. Sehingga hemoglobin yang dibentuk berkurang. Selain itu berkurangnya produksi rantai globin beta mengakibatkan rantai globin alfa relatif berlebihan dan akan saling mengikat membentuk suatu benda yang menyebabkan sel darah merah mudah rusak. Berkurangnya produksi hemoglobin dan mudah rusaknya sel darah merah mengakibatkan penderita menjadi pucat atau anemia atau kadar Hbnya rendah.
Mengapa limpa membesar pada penderita thalassemia?
Limpa berfungsi membersihkan sel darah yang sudah rusak. Selain itu limpa juga berfungsi membentuk sel darah pada masa janin. Pada penderita thalassemia, sel darah merah yang rusak sangat berlebihan sehingga kerja limpa sangat berat. Akibatnya limpa menjadi membengkak. Selain itu tugas limpa lebih diperberat untuk memproduksi sel darah merah lebih banyak.
Mengapa terjadi perubahan bentuk tulang muka?
Sumsum tulang pipih adalah tempat memproduksi sel darah. Tulang muka adalah salah satu tulang pipih, Pada thalassemia karena tubuh selalu kekurangan darah, maka pabrik sel darah daiam hal ini sumsum tulang pipih akan berusaha memproduksi sel darah merah sebanyak-banyaknya. Karena pekerjaannya yang meningkat maka sumsum tulang ini akan membesar, pada tulang muka pembesaran ini dapat dilihat dengan jelas dengan adanya penonjolan dahi, jarak antara kedua mata menjadi jauh, tulang pipi menonjol.
Apakah pengobatan penyakit thalassemia?
Sampai saat ini belum ada obat yang menyembuhkan penyakit thalassemia secara total. Pengobatan yang paling optimal adalah transfusi darah seumur hidup dan mempertahankan kadar Hb selalu sama atau di atas 12 g/dl dan mengatasi akibat samping transfusi darah.
Apakah efek samping transfusi darah?
Efek samping transfusi darah adalah kelebihan zat besi dan terkena penyakit yang ditularkan melalui darah yang ditransfusikan. Setiap 250 ml darah yang ditransfusikan selalu membawa kira-kira 250 mg zat besi. Sedangkan kebutuhan normal manusia akan zat besi hanya 1-2 mg perhari. Pada penderita yang sudah sering mendapatkan transfusi kelebihan zat besi ini akan ditumpuk di jaringan-jaringan tubuh seperti hati, jantung, paru, otak, kulit dll. Penumpukan zat besi ini akan mengganggu fungsi organ tubuh tersebut dan bahkan dapat menyebabkan kematian akibat kegagalan fungsi jantung atau hati.
Bagaimana mengatasi kelebihan zat besi?
Pemberian obat kelasi besi atau pengikat zat besi (nama dagangnya Desferal) secara teratur dan terus menerus akan mengatasi masalah kelebihan zat besi. Obat kelasi besi (Desferal) yang saat ini tersedia di pasaran diberikan melalui jarum kecil ke bawah kulit (subkutan) dan obatnya dipompakan secara perlahan-lahan oleh alat yang disebut “syringe driver”. Pemakaian alat ini diperlukan karena kerja obat ini hanya efektif bila diberikan secara perlahan-lahan selama kurang lebih 10 jam per hari. Idealnya obat ini diberikan lima hari dalam seminggu seumur hidup.
Bagaimana mencegah kelahiran penderita thalassemia?
Kelahiran penderita thalassemia dapat dicegah dengan 2 cara. Pertama adalah mencegah perkawinan antara 2 orang pembawa sifat thalassemia. Kedua adalah memeriksa janin yang dikandung oleh pasangan pembawa sifat, dan menghentikan kehamilan bila janin dinyatakan sebagai penderita thalassemia (mendapat kedua gen thalassemia dari ayah clan ibunya).
Siapa yang harus diperiksa untuk kemungkinan pembawa sifat thalassemia?
Sebaiknya semua orang Indonesia dalam masa usia subur diperiksa kemungkinan membawa sifat thalassemia beta. Karena frekuensi pembawa sifat thalassemia beta di Indonesia berkisar antara 6-10%, artinya setiap 100 orang ada 6 sampai 10 orang pembawa sifat thalassimia beta. Terlebih lagi apabila ada riwayat seperti di bawah ini, pemeriksaan pembawa sifat thalassemia sangat dianjurkan:
1. Ada saudara sedarah yang menderita thalassemia beta.
2. Kadar hemoglobin relatif rendah antara 10-12 g/dl, walaupun sudah minum obat penambah darah seperti zat besi.
3. Ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun keadaan Hb normal.
Bagaimana prosedur diagnosis prenatal?
Diagnosis prenatal melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah pemeriksaan ibu janin yang meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap dan analisis hemoglobin. Bila ibu dinyatakan pembawa sifat thalassemia beta maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap kedua yaitu suami diperiksa darah tepi lengkap dan analisis hemoglobin. Bila suami juga membawa sifat thalassemia maka suami-isteri ini diperiksa DNAnya untuk menentukan jenis kelainann pada gen globin beta.
Selanjutnya diambil jaringan janin (villi choriales atau jaringan ari-ari) pada saat janin berumur 10-12 minggu untuk diperiksa DNAnya. Bila janin ternyata hanya mebawa satu belah gen globin beta yang mengalami kelainan (gen thalassemia beta) atau sama sekali tidak membawa gen thalassemia beta maka kehamilan dapat diteruskan dengan aman. Tetapi bila janin ternyata membawa kedua belah gen thalassemia yang artinya janin akan menderita thalassemia beta maka penghentian kehamilan dapat menjadi pilihan.
Bagaimanakah prosedur dan apakah akibat tindakan pengambilan jaringan ari-ari terhadap janin?
Pengambilan jaringan janin dari ari-ari dilakukan dengan menusukkan jarum melalui jalan lahir atau dinding perut ke dalam alat kandungan clan menembus ke ari-ari, kemudian pada daerah ari-ari yang disebut villi choriales diambil dengan cara aspirasi sejumlah jaringan tersebut untuk bahan pemeriksaan DNA. Prosedur ini dilakukan oleh dokter ahli kandungan yang sudah berpengalaman melakukan tindakan ini. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan 11 minggu. Tindakan ini mempunyai risiko keguguran sebesar 2-3%. Cara lain untuk mendapat sel dari janin adalah dengan pengambilan cairan amnion yang baru dapat dilakukan pada kehamilan 15 minggu. Risiko abortus pada prosedur ini adalah 1%.

Bagaimana mengetahui seseorang adalah pembawa sifat thalassemia beta?
Karena penampilan sebagian besar pembawa sifat thalassemia beta tidak dapat dibedakan dengan individu normal, maka pembawa sifat thalassemia beta hanya dapat ditentukan dengan pemeriksaan darah yang mencakup darah tepi lengkap clan analisis hemoglobin.
Dimana dapat diperiksa untuk kemungkinan pembawa sifat thalassemia?
Pemeriksaan pembawa sifat thalassemia beta dapat dilakukan di Lembaga Eijkman, Jalan Diponegoro 69 Jakarta pada setiap hari Senin s/d Jum’at jam 9.00 s/d 14.00. Biaya pemeriksaan adalah Rp. 150.000,-/per orang (harga sewaktu-waktu dapat berubah). Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan oleh beberapa laboratorium lain
Patofisiologi
Pada keadaan normal disintetis hemoglobin A (adult : A1) yang terdiri dari 2 rantai alfa dan dua rantai beta. Kadarnya mencapai lebih kurang 95 % dsari seluruh hemoglobin. Sisanya terdiri dari hemoglobin A2 yang mempunyai 2 rantai alfa dari 2 rantai delta sedangkan kadarnya tidak lebih dari 2 % pada keadaan normal. Haemoglobin F (foetal) setelah lahir Foetus senantiasa menurun dan pada usia 6 bulan mencapai kadar seperti orang dewasa, yaitu tidak lebih dari 4%, pada keadaan normal. Hemoglobin F terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma. Pada thalasemia, satu atau lebih dari satu rantai globin kurang diproduksi sehingga terdapat kelebihan rantai globin karena tidak ada pasangan dalam proses pembentukan hemoglobin normal orang dewawa (HbA). Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom, mikrositer.
Pada Thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi.
Eritropoesis didalam susunan tulang sangat giat, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai normal, dan juga serupa apabila ada eritropoesis ekstra medular hati dan limfa. Destruksi eritrosit dan prekusornya dalam sumsum tulang adalah luas (eritropoesis tidak efektif) dan masa hidup eritrosit memendek dan hemolisis. (Soeparman, dkk, 1996)
5.Gambaran klinis
Secara klinis Thalasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai beratnya gejala klinis : mayor, intermedia dan minor atau troit (pembawa sifat). Batas diantara tingkatan tersebut sering tidak jelas.
a.Thalasemia mayor (Thalasemia homozigot)
Anemia berat menjadi nyata pada umur 3 – 6 bulan setelah lahir dan tidak dapat hidup tanpa ditransfusi.
Pembesaran hati dan limpa terjadi karena penghancuran sel darah merah berlebihan, haemopoesis ekstra modular dan kelebihan beban besi. Limpa yang membesar meningkatkan kebutuhan darah dengan menambah penghancuran sel darah merah dan pemusatan (pooling) dan dengan menyebabkan pertambahan volume plasma.
Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas dan fraktur spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang mendapat transfusi darah. Deformitas tulang, disamping mengakibatkan muka mongoloid, dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta maksila. Pertumbuhan gigi biasanya buruk.
Gejala lain yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembanga fisik tidak sesuai umur, berat badan kurang, perut membuncit. Jika pasien tidak sering mendapat transfusi darah kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.
b.Thalasemia intermedia
Keadaan klinisnya lebih baik dan gejala lebih ringan dari pada Thalasemia mayor, anemia sedang (hemoglobin 7 – 10,0 g/dl)
Gejala deformitas tulang, hepatomegali dan splenomegali, eritropoesis ekstra medular dan gambaran kelebihan beban besi nampak pada masa dewasa.
c.Thalasemia minor atau troit ( pembawa sifat)
Umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia mikrositin, bentuk heterozigot tetapi tanpa anemia atau anemia ringan.
6.Pemeriksaan diagnostik
a.Pemeriksaan laboratorium
Pada hapusan darah topi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis, polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel normoblas).
Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi rendah dan dapat mencapai nol
Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%, kadang ditemukan juga hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia juga mempunyai HbE maupun HbS.
Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat meningkat karena kerusakan parankim hati oleh hemosiderosis.
Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi memperlihatkan peningkatan nyata ratio alfa/beta yakni berkurangnya atau tidak adanya sintetis rantai beta.
b.Pemeriksaan radiologis
Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang labor, korteks tipis dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan “hair-on-end” yang disebabkan perluasan sumsum tulang ke dalam tulang korteks.
7.Penatalaksanaan
a.Transfusi darah berupa sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb 11 g/dl. Jumlah SDM yang diberikan sebaiknya 10 – 20 ml/kg BB.
b.Asam folat teratur (misalnya 5 mg perhari), jika diit buruk
c.Pemberian cheleting agents (desferal) secara teratur membentuk mengurangi hemosiderosis. Obat diberikan secara intravena atau subkutan, dengan bantuan pompa kecil, 2 g dengan setiap unit darah transfusi.
d.Vitamin C, 200 mg setiap, meningkatan ekskresi besi dihasilkan oleh Desferioksamin..
e.Splenektomi mungkin dibutuhkan untuk menurunkan kebutuhan darah. Ini ditunda sampai pasien berumur di atas 6 tahun karena resiko infeksi.
f.Terapi endokrin diberikan baik sebagai pengganti ataupun untuk merangsang hipofise jika pubertas terlambat.
g.Pada sedikit kasus transplantsi sumsum tulang telah dilaksanakan pada umur 1 atau 2 tahun dari saudara kandung dengan HlA cocok (HlA – Matched Sibling). Pada saat ini keberhasilan hanya mencapai 30% kasus. (Soeparman, dkk 1996 dan Hoffbrand, 1996)
8.Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang berulang-ulang dari proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah tinggi, sehingga tertimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromotosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma yang ringan, kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.
9.Prognosis
Thalasemia homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia dekade ke-3, walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian chaleting agents untuk mengurangi hemosiderosis (harganya pun mahal, pada umumnya tidak terjangkau oleh penduduk negara berkembang).
Thalasemia tumor trait dan Thalasemia beta HbE yang umumnya mempunyai prognosis baik dan dapat hidup seperti biasa.
10.Pencegahan
a.Pencegahan primer :
Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah perkawinan diantara pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan yang homozigot. Perkawinan antara 2 hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia (homozigot), 50 % carrier (heterozigot) dan 25 normal.

b.Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan Thalasemia heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan sperma berasal dari donor yang bebas dan Thalasemia troit. Kelahiran kasus homozigot terhindari, tetapi 50 % dari anak yang lahir adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal.
Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra-uterin sehingga dapat dipertimbangkan tindakan abortus provokotus (Soeparman dkk, 1996).

Monday 17 August 2009

Pola Asuh Orang Tua Berpengaruh Terhadap Pembentukan Konsep Diri: Harga Diri Pada Remaja*** (Studi Pada Salah Satu SMA Negeri di Depok Tahun 2009)

*Leo Ginting (1305000659), ** Lestari Sukmarini
*Mahasiswa Reguler Angkatan 2005. E-mail: leosiusginting_betterman@yahoo.com
**Pembimbing Riset (Staff Keilmuan KMB FIK-UI)
*** Judul Penelitian: Hubungan pola asuh orang tua dengan pembentukan konsep diri: harga diri remaja.

Abstract
Parenting style influences characteristic children. On behalf that statement, identifying relation parenting style with adolescent’s self concept: self esteem is purpose this research. This research utilized descriptive correlation design that consists of 95 adolescents from one of senior high school in Depok. Collecting data used questioner and was analyzed by Chi Square test with significance level is 0.1 and resulting p value is 0.004. It means there is relationship parenting style with adolescent’s self concept: self esteem. Adolescent who perceived authoritative parenting style reported have higher levels of self concept: self-esteem than adolescents raised in authoritarian and permissive homes, so it is important to re-consider to using authoritarian and permissive parenting style because it makes lower adolescent’s self concept: self esteem.
Key words: adolescents, high self concept: self esteem, low self concept: self esteem, parenting style (authoritarian, permissive and authoritative).

Latar Belakang
Masa remaja merupakan periode tumbuh kembang manusia yang sangat perlu diperhatikan dalam membentuk karakter sikap prilaku sesuai dengan konsep dirinya di kemudian hari. Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga melalui pola asuh orang tua secara kuat sangat mempengaruhi tingkat perkembangan individu dalam pencapaian kesuksesan atau kegagalan dalam pergaulan dalam masyarakat (Friedman, 1998). Melalui pola asuh orang tua, remaja akan mulai belajar mengenai pemahaman diri, rasa percaya dan konsep diri, karena orang tua berperan dalam menentukan ada tidaknya kesempatan anak untuk dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan diri dapat mempengaruhi konsep diri: harga diri pada anak. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian Aat Sriati (2007), yang menunjukkan bahwa training pengembangan diri mampu meningkatkan harga diri remaja. Sama halnya dengan penelitian Scott (1939) dalam Santrock (2003), juga menyatakan bahwa pada keluarga dimana terdapat rasa saling percaya dan kecocokan diantara orangtua dan anak akan membentuk anak yang berpandangan lebih positif tentang diri mereka sendiri.
Dari dua hasil penelitian tersebut, peneliti ingin mengupas lebih spesifik hubungan pola asuh orang tua dan aspek harga diri sebagai salah satu bentuk konsep diri pada remaja. Adapun pertanyaan penelitiannya adalah: apakah ada hubungan pola asuh orangtua dengan pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja, serta bagaimana hubungan masing-masing pola asuh terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada anak remaja.

Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan pola asuh orang tua dengan pembentukan konsep diri: harga diri remaja. Adapun tujuan khususnya adalah:
• Teridentifikasi data demografi responden: usia, jenis kelamin, jumlah anak dalam keluarga, status dalam keluarga, status orang tua tunggal/single, agama dan suku.
• Teridentifikasi jenis pola asuh orangtua.
• Teridentifikasi konsep diri: harga diri responden remaja.
• Teridentifikasi hubungan jenis pola asuh orangtua dengan konsep diri: harga diri pada remaja.
• Teridentifikasi pola asuh yang paling efektif untuk membentuk konsep diri: harga diri remaja positif/ tinggi.

Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini:
H0 : Tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.
H1 : Ada hubungan antara pola asuh orang tua terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.




Metodologi Dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi, pendekatan cross sectional dimana yang ingin diketahui adalah hubungan variabel independen (pola asuh orang tua) dengan variabel dependen (pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja di Depok), dimana data demografi sebagai variabel moderator (variabel lain yang dianggap berpengaruh terhadap variabel dependen tetapi tidak mempunyai pengaruh utama). Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis Chi Square.
Responden
Populasi yang ditentukan pada penelitian ini adalah anak remaja awal (early adolescence), antara usia 14 – 17 tahun untuk wanita dan 15 – 17 untuk laki-laki yang berlokasi di Depok. Hal ini disebabkan karena pada rentang usia early adolescene individu dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan kemana tujuan hidupnya, dimana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh peran orang tua/keluarga.
Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah 95 siswa-siswi salah satu SMA Negeri di Depok yang memiliki kriteria: remaja, usia 14 – 17 tahun untuk wanita dan 15 – 17 untuk laki-laki, dapat membaca dan menulis, sehat jasmani dan rohani, tinggal bersama orang tua dan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument berupa kuesioner. Kuesioner terdiri dari tiga bagian besar, yaitu: pernyataan terkait data demografi, pola asuh orang tua dan pernyataan terkait konsep diri: harga diri pada remaja.

Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu data demografi, pola asuh orang tua dan konsep diri: harga diri remaja dan analisis hubungan pola asuh dengan konsep diri: harga diri remaja. Berikut penjelasan masing-masing hasil:

1. Data Demografi
Data demografi yang dianalisis pada penelitian ini terdiri dari: usia, jenis kelamin, jumlah anak dalam keluarga, status dalam keluarga, status orang tua tunggal/single, agama dan suku. Hasil analisisnya ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 5.1
Distribusi Responden Menurut Data Demografi di Salah Satu SMA N di DepokTahun 2009 (n = 95)
Variabel Frekuensi Persentase
Umur (Tahun)
14 1 1,10%
15 24 25,30%
16 29 30,50%
17 33 34,70%
18 8 8,40%
Jenis Kelamin
Laki-Laki 30 31,60%
Perempuan 65 68,40%
Jumlah Anak Dalam Keluarga
1 Orang 3 3,20%
2 Orang 26 27,30%
3 Orang 42 44,20%
4 Orang 14 14,70%
5 Orang 5 5,30%
> 5 Orang 5 5,30%
Status Responden Dalam Keluarga
Anak Kandung 92 96.8 %
Anak Angkat 2 2.1 %
Dll 1 1.1 %
Tabel 5.1
Distribusi Responden Menurut Data Demografi di Salah Satu SMA N di Depok Tahun 2009 (n = 95)

Variabel Frekuensi Persentase
Status Orang Tua Responden
Orang Tua Single 8 8.4 %
Orang Tua Tidak Single 87 91.6 %
Agama
Islam 83 87.4 %
Khatolik 2 2.1 %
Protestan 10 10.5 %
Suku Bangsa
Jawa 51 53.6 %
Sunda 16 16.8 %
Betawi 9 9.5 %
Batak 6 6.3 %
Dll (Campuran) 5 5.3 %
Minang 3 3.2 %
Padang 3 3.2 %
Melayu 2 2.1 %

Tabel diatas menunjukkan bahwa rentang umur responden pada penelitian ini adalah 14-18 tahun dengan modus 17 tahun, jenis kelamin terbanyak adalah permpuan, modus jumlah anak dalam keluarga adalah 3 orang, status responden mayoritas adalah anak kandung dan status orang tuanya tidak tunggal, agama mayoritas dan suku terbanyak masing-masing adalah agama Islam dan suku Jawa.

2. Pola Asuh Orang Tua
Data dan hasil analisis penelitian terkait pola asuh menggambarkan bentuk pola asuh orang tua yang diterapkan pada remaja di salah satu SMA N di Depok dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel diatas menunjukan data bahwa dari ketiga jenis pola asuh orang tua maka pola asuh orang tua yang diterapkan pada remaja yang paling banyak adalah pola asuh demokratis (41,1 %) dan pola asuh yang paling sedikit adalah pola asuh permisif (28,4 %).
3. Konsep Diri: Harga Diri
Hasil analisis data konsep diri: harga diri pada remaja dapat dilihat pada diagram 5.2 berikut.
Diagram 5.2
Distribusi Persentase Konsep Diri: Harga Diri Remaja pada Salah Satu SMA N di DepokTahun 2009

Distribusi konsep diri: Harga diri responden (remaja) antara konsep diri: harga diri rendah dan konsep diri: harga diri tinggi tidak memiliki perbedaan angka yang signifikan. Diagram di atas memperlihatkan 47.4 % memiliki konsep diri: harga diri tinggi, dan sisanya dengan konsep diri: harga diri rendah (52.6 %).

4. Hubungan Pola Asuh dengan Konsep Diri: Harga Diri
Hasil identifikasi hubungan pola asuh orang tua dengan konsep diri: harga diri remaja mendapatkan nilai p adalah 0.004. Hasil ini lebih kecil dari α (0.1) yang berarti bahwa Ho ditolak, dengan kata lain ada hubungan pola asuh orang tua dengan pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja. Hubungan kedua variabel tersebut dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2
Distribusi Responden Pada Analisis Chi Square
Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Konsep Diri: Harga Diri Remaja
di Salah Satu SMA N di Depok Tahun 2009 (n = 95)
Pola Asuh Konsep Diri: Harga Diri Remaja Total p Value

0.004
Harga Diri Tinggi Harga Diri Rendah
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Otoriter 12 41.4 17 58.6 29 100
Permisif 7 25.9 20 74.1 27 100
Demokratis 26 66.7 13 33.3 39 100
Total 45 47.4 50 52.6 95 100

Pada tabel diatas dapat dijelaskan bahwa setiap tipe pola asuh memberi pengaruh yang berbeda terhadap konsep diri: harga diri pada remaja. Pola asuh otoriter berkontribusi membentuk konsep diri: harga diri tinggi lebih rendah dari konsep diri: harga diri rendah. Sama halnya dengan pola asuh permisif, pola asuh tipe ini membentuk konsep diri: harga diri tinggi lebih kecil dari konsep diri: harga diri rendah, bahkan apabila dibandingkan dengan kedua jenis pola asuh lainnya, pola asuh permisif membentuk persentase konsep diri dengan harga diri tinggi yang paing sedikit. Berbeda dengan kedua pola asuh diatas, pola asuh demokratis justru membentuk konsep diri: harga diri tinggi pada remaja (66,7 %) lebih besar jika dibandingkan dengan konsep diri: harga diri rendah (33,3 %).
Pembahasan
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter (30,5 %) berpotensial membentuk konsep diri: harga diri remaja rendah (58,6 %). Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat beberapa ahli dan penelitian sebelumnya. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab tinjauan pustaka bahwa pola asuh otoriter memiliki sifat menghukum dan mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua. Orang tua cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti dan biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Petranto (2006) menjelaskan pola asuh yang demikian akan membentuk anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri (harga diri rendah).
Hampir sama dengan otoriter, pola asuh permisif juga menghasilkan kemungkinan bahwa pola ini akan membentuk persentase yang lebih besar terhadap konsep diri: harga diri rendah dibandingkan dengan konsep diri: harga diri tinggi. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menerapkan pola asuh permisif (28,4 %) akan mendapatkan persentase konsep diri: harga diri rendah adalah 74,1 % sementara konsep diri: harga diri tinggi hanya 25,9 %. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola asuh permisif memiliki peluang hampir 3 kali lebih besar membentuk konsep diri: harga diri rendah dibangingkan harga diri tinggi. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.3
Distribusi Responden Pada Analisis Chi Square
Hubungan Pola Asuh Orang Tua Permisif dengan Konsep Diri: Harga Diri Remaja
di Salah Satu SMA N di Depok Tahun 2009 (n = 95)
Pola Asuh Konsep Diri: Harga Diri Remaja

Harga Diri Tinggi Harga Diri Rendah
Frekuensi % Frekuensi % OR (CI 95 %) p Value
Permisif 7 25.9 20 74.1 3.62 (1.35-969) 0.015
Tabel 5.3 memperlihatkan nilai odds ratio (OR) pola asuh permisif adalah 3,62. Nilai tersebut berarti orang tua yang menerapkan pola asuh permisif mempunyai peluang 3,62 kali membentuk remaja dengan konsep diri: harga diri rendah. Hasil tersebut juga sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pola asuh permisif akan menghasilkan anak yang kurang percaya diri. Hal ini terjadi karena pola asuh ini cenderung memanjakan anak-anaknya dan tidak ada peraturan dan pembatasan-pembatasan yang jelas bahkan menurut Petranto (2006) orang tua dengan pola asuh permisif cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Akibat dari pengalaman yang terbatas dan kehidupan mental masih belum matang, maka anak termasuk remaja akan sulit membuat keputusan tentang perilaku mana yang sesuai dengan harapan sosial, mereka tidak tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Sebagai hasil dari itu mereka cenderung untuk menjadi ketakutan, gelisah, dan memiliki konsep diri: harga diri yang rendah.
Berbeda dengan kedua pola asuh diatas, pola asuh demokratis membentuk potensi konsep diri: harga diri tinggi yang lebih besar dari pada konsep diri: harga diri rendah. Dengan menerapkan pola asuh demokratis (41,1 %), konsep diri: harga diri tinggi dibentuk 66,7 %, lebih tinggi dari konsep diri: harga diri rendah (33,3 %). Hasil ini memperlihatkan bahwa pola asuh demokratis cenderung menghasilkan konsep diri: harga diri remaja yang tinggi (positif) 2 kali lebih besar dibandingkan dengan konsep diri: harga diri yang rendah.
Tabel 5.4
Distribusi Hubungan Pola Asuh Orang Tua Permisif dengan Konsep Diri: Harga Diri Remaja di Salah Satu SMA N di Depok Tahun 2009 (n = 95)

Pola Asuh Konsep Diri: Harga Diri Remaja

Harga Diri Tinggi Harga Diri Rendah
Frekuensi % Frekuensi % OR (CI 95 %) p Value
Demokratis 26 66.7 13 33.3 0.26 (0.11-0.61) 0.003
Hasil penelitian ini didukung pula oleh pernyataan yang menjelaskan bahwa dengan mendorong anak remaja untuk selalu berupaya, menerima kelebihan dan kekurangannya, dan memberikannya pujian dan hadiah pada perilakunya yang benar dan mengingatkan jika salah akan mengarahkan remaja untuk memiliki rasa percaya diri. Hal-hal tersebut sepenuhnya dapat dilihat dari karakteristik pola asuh demokratis yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
Ketiga hasil penelitian diatas yang terkait hubungan jenis pola asuh terhadap pembentukan konsep diri: harga diri remaja juga didukung oleh beberapa penelitian. Penelitian Papalia & Olds (1993) dalam Petranto (2006) mendapatkan orang tua yang hangat, responsif dan memiliki harapan-harapan yang realistik akan meningkatkan harga diri anak (pola asuh demokratis), sedangkan orang tua yang perfeksionis, suka mengkritik, terlalu mengontrol atau terlalu melindungi, memanjakan, mengabaikan, serta tidak memberikan batasan-batasan atau aturan-aturan yang jelas dan konsisten akan menurunkan tingkat harga diri anak (pola asuh otoriter dan permisif).
Penelitian Isabel Martínez dan José Fernando García (2008) di Brazil yang dilakukan terhadap 1.198 remaja juga menghasilkan hal yang sama; remaja yang tumbuh dalam keluarga yang menerapkan pola asuh demokratis membentuk konsep diri: harga diri remaja yang lebih tinggi dari pada remaja yang tumbuh di keluarga otoriter dan permisif. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa ada beberapa penelitian diberbagai negara seperti di negara-negara Eropa utara, Italy, Spayol dan di Amerika Selatan yang meneliti hal yang sama dan hasilnya juga mendukung hasil penelitian ini, antara lain: Chao, 1994, 2001; Darling & Steinberg, 1993; Dornbusch, Ritter, Leiderman, Roberts, & Fraleigh, 1987; Dwairy et al., 2006; Kirn & Rhoner, 2002; Marchetti, 1997; Musitu & Garcia, 2004; Quoss & Zhao, 1995; Steinberg et al., 1991 dan Villalobos et. al., 2004.
Hasil perbandingan pola asuh orang tua dengan konsep diri: harga diri remaja, kita mengetahui bahwa total persentase pola asuh orang tua yang paling banyak diterapkan dalam keluarga adalah pola asuh demokratis, tetapi konsep diri: harga diri remaja yang paling banyak teridentifikasi adalah konsep diri dengan harga diri rendah. Apabila ditinjau ulang, dengan penerapan pola asuh orang tua yang paling banyak adalah demokratis, maka seharusnya konsep diri: harga diri remaja yang teridentifikasi adalah konsep diri dengan harga diri tinggi. Kontradiksi hasil ini menunjukan bahwa yang mempengaruhi pembentukan konsep diri: harga diri remaja tidak hanya dari pola asuh orang tua, namun ada faktor-faktor lain yang juga turut berkontribusi membentuk konsep diri: harga diri remaja.
Interpretasi analisis ke 3 tiga pola asuh diatas menunjukkan bahwa pola asuh otoriter dan permisif kurang baik terhadap pembentukan konsep diri: harga diri remaja, maka penerapan ke dua jenis pola asuh ini dalam keluarga perlu ditinjau kembali. Pola asuh yang paling efektif untuk membentuk konsep diri: harga diri yang tinggi pada remaja adalah pola asuh demokratis.
Kesimpulan
Penelitian ini mendapatkan bahwa rentang usia responden 14-18 tahun dan yang paling bayak 17 tahun, usia responden mayoritas adalah perempuan, jumlah anak dalam keluarga yang paling banyak adalah 3 orang, status anak dalam keluarga dan status orang tua yang paling banyak adalah anak kandung dan orang tuanya tidak tunggal (tidak single parent), agama mayoritas adalah Islam dan suku yang paling banyak adalah suku Jawa. Sementara pola asuh orang tua yang paling banyak diterapkan adalah pola asuh demokratis, tetapi konsep diri yang terbentuk paling banyak adalah harga diri rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada faktor lain yang mempengaruhi pembentukan konsep diri: harga diri remaja.
Dari hasil analsisi hubungan terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan pembentuan konsep diri: harga diri remaja. Setiap jenis pola asuh orang tua memberi pengaruh yang berbeda terhadap konsep diri: harga diri remaja. Pola asuh yang paling efektif untuk membentuk konsep diri: harga diri remaja positif adalah demokratis, sementara pola asuh otoriter dan permisif memberi pengaruh yang kurang baik terhadap konsep diri: harga diri remaja.

Rekomendasi
1. Pada penelitian ini hubungan variabel moderator (data demografi) terhadap variabel dependen (Konsep diri: harga diri) belum tergali secara mendalam. Oleh karena itu ada baiknya setiap data demografi dicari asosiasi dengan konsep diri: harga diri remaja. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi data demografi yang memiliki asosiasi atau hubungan yang paling dominan terhadap konsep diri: harga diri remaja, sehingga dapat diidentifikasi secara generalisir faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri remaja selain pengalaman; pola asuh; lingkungan; dan sosial ekonomi.
2. Secara teori kita mengetahui faktor yang mempengaruhi konsep diri: harga diri. Namun secara empiris belum banyak yang meneliti hubungan pengalaman, lingkungan, sosial ekonomi terhadap konsep diri: harga diri remaja, karena perlu penelitian lebih lanjut.
3. Melalui pendidikan kesehatan dapat disampaikan kepada masyarakat bahwa penerapan pola asuh otoriter dan permisif sebagai yang paing dominan perlu dipertimbangkan lagi, karena memberi efek yang kurang baik terhadap pembentukan konsep diri: harga diri remaja.

Daftar Pustaka
Friedman, Marylin M. (1998). Family nursing: Theory, research, and practice.
(4th Ed). California: Appleton & Lange Stamford Connecticut.
Martínez, I, & García, J F. (2008). Internalization of values and self-esteem among brazilian teenagers from authoritative, indulgent, authoritarian, and neglectful homes. Jurnal of Adolescence. Roslyn Heights: Spring 2008. Vol. 43, Iss. 169; pg. 13, 17 pgs.
Petranto, I. (2006) Rasa percaya diri anak adalah pantulan pola asuh orang tuanya. http://dwpptrijenewa.isuisse.com/bulletin/?m=200604. Diambil pada 12 November 2008, pukul 08.00 WIB.
Santrock, J.W. (2003). Adolescent. (7th Ed). USA: The Mc Graw Hill
Sriati, Aat dan Taty Hernawati. (2007). Pengaruh training pengembangan diri terhadap pengembangan harga diri putri homoseksual di desa Cibeureum kecamatan Cimalaka kabupaten Sumedang. http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/LAP%20AKHIR%20SKW.pdf. Diambil pada 19 February 2009 pukul 11.35 WIB.

HASIL PA YAKOBUS 3:1-12 (DOSA KARENA LIDAH)

Latar Belakang

• Penulis
Penulis kitab Yakobus adalah Yakobus sendiri (Yak 1:1), dan dia mungkin adalah saudara laki-laki Yesus, dan memimpin dewan Jerusalem. Ada 4 orang yang memiliki nama Yakobus di NT, dan penulis kitab ini bukanlah Rasul Yakobus yang sudah meninggal sebelum kitab ini dituliskan dan tidak pula 2 orang Yakobus lainnya.

Yakobus adalah satu dari beberapa saudara laki-laki Yesus dan kemungkinan yang paling tua karena di Mat 13:55 namanya disebutkan paling awal. (Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas?).
Pada awalnya ia tidak percaya kepada Yesus dan bahkan menantang Yesus dan tidak memahami misiNya, sampai pada akhirnya ia menjadi orang yang sangat terkemuka di gereja:
• Kepada Yakobus Yesus menampakkan diriNya setelah kebangkitanNya (1 Kor 15:7 Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul).
• Paulus menyebutnya “pillar” (tiang, sendi, sokoguru) gereja (Gal 1:19 Dan setelah melihat kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, maka Yakobus, Kefas dan Yohanes, yang dipandang sebagai sokoguru jemaat, berjabat tangan dengan aku dan dengan Barnabas sebagai tanda persekutuan, supaya kami pergi kepada orang-orang yang tidak bersunat dan mereka kepada orang-orang yang bersunat).
• Paulus dalam perjalanannya ke Jerusalem, melihat Yakobus (Gal 1:19 Tetapi aku tidak melihat seorangpun dari rasul-rasul yang lain, kecuali Yakobus, saudara Tuhan Yesus).
• Paulus melihat hal yang sama dalam perjalanannya yang terakhir.
• Ketika Petrus ditolong dari penjara, ia memanggil Yakobus sebagai temannya. (Kis 12:17)
• Yakobus adalah pemimpin yang berperan penting dalam dewan Jerusalem (Kis 15:13 Setelah Paulus dan Barnabas selesai berbicara, berkatalah Yakobus: "Hai saudara-saudara, dengarkanlah aku)

Yakobus meninggal sebagai martir (c. A.D 62)


2) Waktu Penulisan
Diperkirakan surat ini ditulis awal tahun 60an.

3) Penerima
Penerimanya secara eksplisit di sebutkan dalam Yak 1:1 “kepada kedua belas suku di perantauan”. Beberapa mendapatkan bahwa kitap ini ditujukan kepada semua orang Kristen, tetapi pada waktu itu ditujukan untuk ‘kedua belas suku’ orang Yahudi Kristen. Penerimanya orang Kristen jelas terlihat dari Yak 2:1 (Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka), 5:7-8. Ini artinya sangat masuk akal jika penerimanya tersebut adalah orang-orang percaya dari Jerusalem, yang setelah kematian Stefanus sebagai martir tersebar sejauh Phoenicia, Cyprus, dan Syrian Antioch.
Pengetahuannya yang sangat mendalam tentang pembacanya terlihat jelas dalam surat ini. Yakobus sangat mengetahui tentang kondisi pembacanya (pada saat itu).
Sebagai pemimpin gereja Yerusalem, Yakobus menulis surat ini sebagai pastor untuk memerintahkan dan mendorong jemaat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan.

4) Karakteristik Khusus
Karakteristik yang membuat surat ini istimewa adalah:
• Sudah pasti nature Yahudi
• Penekanannya pada dasar-dasar kristiani, dikarakteristikkan dengan perbuatan baik dan iman yang tetap bekerja (iman sejati harus dan akan diikuti oleh life-style yang konsisten baik)
• Penyusunannya mudah dipahami
• Mirip dengan teknik yang digunakan Yesus dalam Khotbah di Bukit
• Mirip seperi pribahasa/perumpamaan
• Orang Yunanai yang excellent

5) Outline Kitab
I. Salam (1:1)
II. Pencobaan dan Godaan (1:2-18)
a. Ujian iman (1:2-12)
b. Sumber godaan (1:13-18)
III. Mendengar dan Melakukan (1:19-27)
IV. larangan terhadap sikap pilih kasih (2:1-13)
V. Iman dan tindakan (2:14-26)
VI. Penjinakan lidah (3:1-12)


Yuukkk Mulai PA perikopnya…. Yuk!!!

Jesus bless me and help me knowing Your purpose by this letter…


James 1:1-12 (Taming The Tongue) means Yakobus 1:1-12 (Dosa karena Lidah), EXELLENT Leo!!!!!!! (penting ya????)


Outline perikpnya menurut aku:
1. ayat 1-4 perumpamaan/ pengibaratan tetang lidah
2. ayat 5-8 fakta tentang lidah
3. ayat 9-12 nasihat Yakobus b.d lidah


Kita pa kan per ayat ya..

1 Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.

… sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat. Tugas seorang guru adalah mengajari, mendidik orang lain dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap anak didiknya, guru dijadikan teladan oleh anak didiknya dan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar. Jangan sampai guru mengajari muridnya tetapi ia sendiri tidak melakukan apa yang ia ajarkan.
Yakobus mau mengingatkan jemaat untuk tidak munafik, mengajari orang, tapi ia sendiri tidak melakukannya dan juga tidak menghakimi orang lain.

Mat 7:1 "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.
Roma 2:21 Jadi, bagaimanakah engkau yang mengajar orang lain, tidakkah engkau mengajar dirimu sendiri? Engkau yang mengajar: "Jangan mencuri," mengapa engkau sendiri mencuri?

Kalau di bawa dalam kehidupan kita sehari hari, bukan berarti menjadi guru di instansi pendidikan dilarang, tatapi maksudnya jangan terlalu gampang men-judge dan sok-sok menasihati orang lain. Akan sangat lebih baik jika kita mengajari orang lain melalui perbuatan kita, biar orang lain melihat apa yang kita lakukan, bukan apa yang kita katakan.

Refleksi pribadiku, sepertinya selama ini seringnya aku masih munafik ke orang lain. Hiks..

2 Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.

I raja2 8:46 Apabila mereka berdosa kepada-Mu—karena tidak ada manusia yang tidak berdosa—dan Engkau murka kepada mereka dan menyerahkan mereka kepada musuh, sehingga mereka diangkut tertawan ke negeri musuh yang jauh atau yang dekat,
Dari ayat ini, di ingatkan lagi bahwa semua manusia berdosa

Mzr 39:2 (39-2) Pikirku: "Aku hendak menjaga diri, supaya jangan aku berdosa dengan lidahku; aku hendak menahan mulutku dengan kekang selama orang fasik masih ada di depanku."
1 Perus 3:10 "Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu”

Orang sempurna… Orang yang sudah dapat mengontrol lidahnya berarti orang tersebut dapat mengontrol seluruh aspek kehidupannya.
Jadi kuncinya disini adalah lidah, kalau sudah bisa mengontrol lidah, maka amanlah seluruh hidupnya. Perfect person!!!. Tapi masalahnya tidak ada satu orangpun yang bisa mengontrol lidahnya sendiri.

Mat 12:37 Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum

… dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya
NIV… able to keep his whole body in check
Yakobus 1:26 Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.

Diingatkan lagi kepada kita kalaupun kita rajin beribadah, rajin kegereja, namun apabila lidah kita belum dapat kita kontrol artinya kita masih ada masalah dengan orang lain akibat perkataan kita, ibadah kita tidak ada artinya, sia-sia.
So, marilah saling memaafkan dulu, jangan ada dusta diantara kita..

3 Kita mengenakan kekang pada mulut kuda, sehingga ia menuruti kehendak kita, dengan jalan demikian kita dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.
4 Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil menurut kehendak jurumudi.
5 Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar.

(Mzr 12-3) Mereka berkata dusta, yang seorang kepada yang lain, mereka berkata dengan bibir yang manis dan hati yang bercabang. (12-4) Biarlah TUHAN mengerat segala bibir yang manis dan setiap lidah yang bercakap besar,

Mzr 32:9 Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, kalau tidak, ia tidak akan mendekati engkau.

Dari ayat 3-5 adalah penjelasan ayat 2. Dari ayat 3 Yakobus mengambil contoh kuda. Kuda yang mulutnya dikekang, maka kita dapat mengontrol kuda itu, mau di bawa kemana suka-suka kita, di suruh lari atau berhenti dapat kita lakukan dengan menarik tali yang menempel di mulutnya. Sama halnya dengan kapal. Kemudinya di ibaratkan sebagai mulut kapal.
Lidah dapat menjadi sumber masalah besar. Seperti ada pepatah mengatakan mulutmu adalah harimaumu. Dengan organ kecil ini dapat memicu pertengkaran kecil sampai pertengkaran besar, ejek mengejek bahkan dapat menimbulkan pembunuhan dsb. Lidah, walaupun ia kecil namun dapat membakar dunia!!! Wow..!!!

6 Lidahpun adalah api1; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh2 dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.

1. (Amsal 16:27 Orang yang tidak berguna menggali lobang kejahatan, dan pada bibirnya seolah-olah ada api yang menghanguskan).
2. (Mat 15: 11 "Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang." 18 Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.)


… suatu dunia kejahatan, dalam NIV world of evil
… dinyalakan oleh api neraka, dalam NIV set on fire by hell. Artinya lidah yang adalah api, dinyalakan oleh api neraka, sumber dari kejahatan yang ditimbulkan oleh lidah adalah setan. Orang yang mendatangkan kejahatan lewat mulutnya berarti setan/iblis masih menguasai dia

(Mat 5:22, Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Dari ayat 6 ini jelas terlihat bahwa lidah dapat mendatangkan masalah dalam diri manusia itu, dapat menodai seluruh tubuh, membuat Nazis, mendatangkan kejahatan. Orang yang mendatangkan kejahatan lewat mulutnya berarti setan/iblis masih menguasai dia

7 Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia,
8 tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan.
9 Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah1,

1. kej 1: 26 Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."

… diciptakan menurut rupa Allah. NIV in God’s likeness. Artinya setelah manusia diciptakan Allah menurut rupaNya, apabila memaki, menutuk manusia berarti memaki, mengutuk Allah juga.
Jadi tidak boleh suka memaki-maki orang lain juga, bergosip ya…

10 dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.
11 Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama?
12 Saudara-saudaraku, adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara?1 Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar.


1. Mat 7:16 Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri?

Ayat 10-12 ini merupakan nasihat Yakobus, agar setiap orang berusaha untuk menjaga mulutnya. Sebab tidak mungkin dari mata air yang sama keluar air tawar dan air pahit. It is just so with the tongue, tidak boleh keluar berkat dan kutukan dari mulut yang sama. Becarefull !!!


Jadi yang aku dapatkan dari perikop ini adalah fakta bahwa sangat sulit untuk menjinakkan lidah. Lidah yang belum jinak, artinya lidah yang masih sulit dikontrol, akan menimbulkan berbagai masalah, persoalan hidup dengan sesama manusia, termasuk juga Allah.
Yakobus mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan lidah, walaupun ia organ yang kecil namun ia dapat menimbulkan masalah yang sangat besar. Kita sebagai orang-orang yang sudah mengenal Kristus harus bisa untuk mulai mengontrol lidah kita, mengupayakan supaya kata-kata yang keluar dari mulut kita adalah kata-kata yang membangun, bukan kata-kata yang mencaci atau menjatuhkan orang lain.

Tentunya ini bukan pekerjaan yang mudah, apalagi kita hidup dalam lingkungan yang sangat beragam; teman-teman yang berbeda suku, ras, daerah, agama, dan kita termasuk golongan yang minoritas dalam komunitas kampus kita. Bahkan yang sama-sama Kristen pun masih sangat sering muncul masalah, kaarena perbedaan karakter, pendapat. Dan itu sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik. Dalam situasi yang beragam itulah perlunya kemampuan kita sebagai anak-anak Tuhan untuk dapat mengontrol lidah kita, agar kita berhati-hati dengan ucapan kita. Tidak mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan atau menyinggung perasaan orang lain.

Terus diingatkan lagi, kalau sebagai manusia kita harus memilih: apakah kita hidup dengan mau untuk mengontrol lidah kita, atau hidup tanpa ada usaha untuk mengontrl lidah. Sebab tidak mungkin dari mulut yang sama keluar pujian dan berkat sekaligus. Sebagai anak-anak Allah, kita harus mengusahakan agar lidah kita/ mulut kita mengeluarkan pujian, pujian yang menyenangkan hati Allah dan sesama manusia di komunitas kita masing-masing.



Refleksi pribadi.
Dalam kehidupanku secara pribadi, masih sangat sering mengeluarkan kata-kata kasar. Maksud hatiku sebenarnya bukan untuk menyakiti hati orang lain, just kidding. Tapi hati orang siapa yang tahu. Mungkin bagiku kata-kata itu tidak menyakitkan, tetapi bagi orang lain mungkin itu bisa saaaangat menyakitkan. Hal itu yang selama ini kurang aku sadari, apalagi pada awal masa perkuliahan.

Tetapi aku sangat bersyukur ada dalam komunitas Pertiwat. Melalui setiap wadah pembinaan yang ada, aku merasa sedang dalam masa PROCESSING, untuk berhati-hati dalam berkata-kata. Aq sudah mulai menyadari kalau, kata-kata yang perlu aku perbanyak adalah kata-kata yang bermanfaat, yang bisa membangun orang lain, tanpa harus menyakiti hatinya. Walaupun harus mengkritik orang lain, bisa di sampaikan dengan pelan-pelan.

Satu hal lagi yang cukup mengena dari perikop ini adalah aku sering langsung menghakimi orang lain (walaupun seringnya dalam hati), tanpa aku pikirkan terlebih dahulu mengapa ia melakukan hal itu ( yang menurut pandanganku salah) dan aku tidak sadari, tidak refleksi diri terlebih dahulu.

Dan yang menjadi komitmenku dari perikop ini adalah:
◦ Mulai dari sekarang (umumnya), dalam waktu 1 bulan setelah perkuliahan aktif (khususnya), aku akan selalu mengeluarkan kata-kata yang membangun, misalnya pujian.
◦ Mulai dari sekarang aku tidak boleh lagi mudah menghakimi orang lain, harus berpikir positif!!!

Wednesday 12 August 2009

Menjalani Profesi dengan semangat yang Mantap

Profesi yang dimaksudkan disini bukan pengertian umum yang mengeneralisasikannya sebagai "Bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejujuran dsb) tertentu" (KBBI), tetapi lebih pada jenjang program pendidikan ilmu Keperawatan yang ditempuh setelah memproleh gelar Sarjana Keperawatan (SKep).
Ada orang beranggapan bahwa mengikuti program profesi itu melelahkan, menakutkan dan hampir tidak ada dampak positif yang bisa kita petik dengan mengikuti progaram tersebut. Namun disisi lain ada, ada juga yang beranggapan bahwa dengan terlibatanya kita diprogram profesi, justru mendapatkan manfaat yang tidak sedikit bila dibandingkan dengan mereka yang tidak mengikuti proram profesi, misalnya: menambah keterampilan soft skil dan hard skil, menambah pengalaman, bertemu banyak orang dan bila saling share tentang pengalaman hidup dan masih banyak keuntungan lain yang akan muncul sendiri tanpa kita sadari.

Itulah fenomena yang terjadi saat akan menjalani profesi. Ada perasaan gundah gulana, wara wiri tak menentu, cemas, ragu dan bingung bagaimana realita profesi keperawatan di lapangan, seakan idealisme yang tinggi dimasa perkuliahan terancam ambruk dihadang oleh prosedur dan aturan yang berlaku di negara ini yang sampai saat ini belum berpihak terhadap salah satu profesi yang mulia ini. Itulah. Itulah tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa keperawatan kebanyakan, mahasiswa reguler khususnya yang notabene belum punya pengalaman klinik sama sekali, masih buta terhadap tetek bengek pergulatan persaingan industri kesehatan. Sekarang pertanyaannya adalah "Bagaimana kita menghadapi kondisi itu? Apa Solusi yang baik untuk mengatasi permasalah tersebut?"


Koreksi otokritik bagi mahasiswa keperawatan, apakah kita sudah siap? Siap dengan bekal ilmu yang memadai dan persiapan mental yang cukup. Kita tidak perlu khawatir dan gentar menghadapi masa profesi nanti. Toh yang kita hadapi juga sama-sama manusia, manusia biasa, bukan manusia besi ataupun manusia baja. Satu hal lagi yang perlu kita sadari, masa profesi adalah masa belajar, belajar untuk menjadi perawat profesional, perawat yang memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus tentang keperawatan dan bisa menjalankan perannya sebagi perawat sesuai dengan kode etik profesi atau paling tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP)yang berlaku. Hal tersebut dijelaskan untuk memberi penegasan bahwa dalam proses belajar butuh proses, artinya ketika kita akan masuk tahap profesi yang pada hakekatnya belum terampil, itu bukanlah suatu masalah yang harus ditakuti, tetapi marilah kita jadikan keterbatasan tersebut sebagai batu loncatan untuk belajar lebih giat lagi dengan semangat yang menggebu-gebu.

Tidak ada masalah yang tidak bisa diatasi. Jangan mengeluh dan menggerutu. Jangan mengatakan "Tuhan saya mempunyai masalah besar yang tidak bisa saya atasi", tetapi katakanlah "Masalah, saya punya Tuhan yang besar yang siap membantu saya dalam segala situasi dan kondisi, dengan pertolongannya masalah sebesar apapun saya PASTI bisa mengatasinya !!!"

Ayo rekan-rekan kita pasti bisa. Saya pasti bisa!!!!!
Hidup Perawat Indonesia.


Semangat!!!! Semangat !!!!

Tuesday 11 August 2009

Proposal Penelitian "Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Pembentukan Konsep Diri: Harga Diri Remaja di Depok"

PROPOSAL PENELITIAN


HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PEMBENTUKAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI PADA REMAJA












Dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata ajar
Metodologi Riset Keperawatan pada
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia


Oleh

Leo Ginting
1305000659







FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2008





BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 11 sampai 20 tahun (Donna L. Wong, 2004)
Masa remaja ini merupakan masa transisi yang menjembatani masa kanak-kanak yang tidak matang ke masa dewasa yang matang. Macam transisi yang berbeda akan membawa pengaruh yang berbeda pula bagi individu yang mengalaminya (www.geocities.com). Masa ini hampir selalu merupakan masa-masa sulit bagi remaja dalam beradaptasi terhadap tumbuh kembang yang dialaminya, termasuk pembentukan konsep diri (Yahya Ma’shum dan Chatarina Wahyurini, 2002). Pada masa remaja konsep diri merupakan inti dari kepribadian (Hurlock, 1973 dalam Yati, 2008)

Berkaitan dengan masa remaja, hasil-hasil studi yang panjang di berbagai negara menunjukkan bahwa masa yang paling penting dan menentukan perkembangan harga diri seseorang adalah pada masa remaja. Pada masa inilah terutama seseorang akan mengenali dan mengembangkan seluruh aspek dalam dirinya, sehingga menentukan apakah ia akan memiliki harga diri yang positif atau negatif (Tambunan, 2001).
Tetapi perlu diketahui bahwa konsep diri termasuk didalamnya harga diri, terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa (Qumana, 2008). Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan atau herediter. Konsep diri tidak terbentuk waktu lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan dengan realita (Stuart, 2002).

Konsep diri sendiri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya (Qumana, 2008). Konsep diri terdiri dari beberapa komponen, seperti: citra tubuh, ideal diri, harga diri, performa peran dan identitas pribadi (Stuart, 2002). Tetapi pada penelitian ini konsep diri akan difokuskan pada harga diri. Harga diri mengandung arti suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap–sikap yang dapat bersifat positif dan negatif. Bagaimana seseorang menilai tentang dirinya akan mempengaruhi perilaku dalam kehidupannya sehari–hari (Tambunan, 2001)

Seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat memiliki harga diri yang positif. Sebaliknya seseorang yang mempunyai konsep diri negatif berarti memiliki harga diri yang negatif pula. Untuk sebagian besar remaja, rendahnya rasa percaya diri hanya menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional yang bersifat sementara (Damon, 1991 dalam Santrock, 2003). Tetapi bagi beberapa remaja, rendahnya percaya diri dapat menimbulkan banyak masalah seperti depresi, bunuh diri, anoreksia nervosa, delinkuensi dan masalah penyesuaian diri lainnya (Markus & Nurius, 1986; Pfeffer, 1986; Damon & Hart, 1988; Harter & Marold, 1992; Frenzel, 1994; Santrock, 2003).
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa harga diri (Self esteem) ini adalah sebuah keterampilan yang dapat dipelajari dan dilatih oleh siapapun seperti halnya mempelajari banyak hal dalam kehidupan ini (Bppsdmk, 2007). Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri sebagaimana harga diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini dalam kehidupan bersama orang tua. Konsep diri bukanlah dari pembawaan lahir tetapi berkembang dari beribu-ribu pengalaman ‘I’, dan ‘me’ dan ‘mine’ yang dibeda-bedakan dan yang mengumpul sedikit demi sedikit (R.B Burns, 1993 hal186).
Proses pembentukan ini tidak terjadi dalam waktu singkat melainkan melalui proses interaksi secara berkesinambungan selama proses perkembangan dirinya menjadi dewasa (Yanti, 2008). Interaksi yang berkesinambungan tersebut dapat dipelajari oleh individu melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain termasuk berbagai stressor yang dilalui individu tersebut. Hal ini akan membentuk persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan penilaian persepsinya terhadap pengalaman akan situasi tertentu (Qyonglee, 2008).
Kosep diri sebagai suatu objek timbul di dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya (Mead, 1934 dalam R.B Burns, 1993 hal. 19). Interaksi sosial untuk pertama kalinya dipelajari seorang individu adalah di keluarga. Keluarga merupakan agen sosialisasi yang universal dan yang terutama (R.B Burns 1993 hal 256). Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga melalui pola asuh orang tua secara kuat sangat mempengaruhi tingkat perkembangan individu dalam pencapaian kesuksesan atau kegagalan dalam pergaulana dalam masyarakat (Friedman, 1998).
Keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, kegiatan menyusui, efektif dan ekonomis. Di dalam keluargalah kali pertama anak-anak mendapat pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spiritual. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak (www.schoolcounselor.org).
Sifat dan perilaku anak sangat dipengaruhi dengan pola asuh kedua orangtuanya. Terlalu memanjakan atau memandang sebelah mata keberadaan mereka, bisa berakibat buruk terhadap kepribadian mereka kelak (Surya, 2008). Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalan pola asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negative, dan sikap positif orangtua akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri (Qumana, 2008).
Menurut Papalia & Olds (1993), ada beberapa karakteristik orang tua yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan harga diri anak. Menurut mereka, orang tua yang hangat, responsive dan memiliki harapan-harapan yang realistik akan meningkatkan harga diri anak, sedangkan orang tua yang perfeksionis, suka mengkritik, terlalu mengontrol atau terlalu melindungi, memanjakan, mengabaikan, serta tidak memberikan batasan-batasan atau aturan-aturan yang jelas dan konsisten akan menurunkan tingkat harga diri anak (Rusdijana, 2004)
Pola membesarkan anak yang memudahkan konsep diri yang positif pertama kali diperlihatkan oleh Stott (1939) yang setelah mempelajari 1.800 anak remaja mencatat bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga-keluarga dimana terdapat peneriamaan, rasa saling percaya dan kecocokan di antara orangtua dan anak, lebih baik penyesuaian dirinya, lebih mandiri dan berpandangan lebih positif tentang diri mereka sendiri. Anak-anak yang berasal dari keluarga-keluarga dimana terdapat ketidakcocokan diantara anggota-anggota keluarga pada umumnya kemampuan untuk menyesuaikan diri kurang Behrens (1954) juga memperlihatkan bahwa gaya pribadi orantua dapat mempengaruhi konsep diri anak untuk menjadi lebih baik ataupun lebih buruk (R.B Burns, 1993 hal 256).
Terdapat 4 macam pola asuh orang tua yaitu : pola asuh demokratis, pola asuh otoriter, pola asuh permisif, pola asuh penelantar (Baumrind, 1967 dalam Rusdijana 2004). Masing – masing jenis pola asuh ini memiliki karakteristik dan ciri khas tersendiri/ cara yang berbeda dalam memperlakukan anak atau mengasuh anaknya.
Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif terhadap orang-orang lain. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. Berbeda dengan dua pola asuh sebelumnya, pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial, dan pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang moody, impulsive, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, self esteem (harga diri) yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman (Rusdijana, 2004).
Namun pembentukan konsep diri pada anak tidak hanya ditentukan oleh pola asuh orangtua. Faktor-faktor yang melatarbelakangi harga diri juga dipengaruhi oleh pengalaman, lingkungan dan sosial ekonomi (Coopersmith, 1967, dalam Burn, 1998).
B. RUMUSAN MASALAH

Masa remaja merupakan masa terpenting bagi seseorang untuk menemukan dirinya (Hollingworth, dalam Jersild, 1965; Yanti, 2008). Mereka harus menemukan nilai-nilai yang berlaku dan yang akan mereka capai di dalamnya. Remaja memiliki pemikiran tentang siapakah diri mereka dan apa yang membuat mereka berbeda dari orang lain. Penjelasan tentang diri akan dimulai dari informasi mengenai pemahaman diri remaja dan kemudian rasa percaya dan konsep diri (Santrock, 2003).

Menurut Rusdijana (2004) rasa percaya diri anak adalah pantulan pola asuh orang tuanya. Ini berarti bahwa sifat dan prilaku anak dipengaruhi oleh kedua orangtuanya. Terlalu memanjakan atau memandang kebutuhan mereka sebelah mata, bisa berakibat buruk terhadap kebiasaan mereka kelak. Pembentukan konsep diri selain dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, juga di pengaruhi oleh teman sebaya, pengalaman, lingkungan dan sosial ekonomi. Dari setiap hal yang mempengaruhi pembentukan konsep diri (harga diri) tersebut, peneliti ingin menitikberatkan pada pola asuh, dengan melihat seberapa besar pengaruh pola asuh orang tua terhadap pembentukan konsep diri; harga diri pada remaja.

Dengan melihat latar belakang diatas, peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja, serta mempelajari hubungan masing-masing pola asuh terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada anak remaja. Dari keemapat jenis pola asuh orang tua, peneliti juga ingin mempelajari karakteristik pola asuh dan karakteristik-karakteristik anak terhadap pembentukan konsep diri; harga diri dalam kaitannya dengan pola asuh orang tua.






C. TUJUAN PENELITIAN
a. Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara pola asuh orangtua dengan pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.
b. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi data demografi respondent; usia, jenis kelamin, status dalam keluarga, dan suku.
b. Mengidentifikasi jenis pola asuh orang tua.
c. Mengidentifikasi karakteristik-karakteristik anak terhadap pembentukan konsep diri; harga diri dalam kaitannya dengan pola asuh orang tua.
d. Menganalisis pola asuh orangtua dalam pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.


D. MANFAAT PENELITIAN

a. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan baru tentang pola asuh orang tua yang positif terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja, dan menstimulus pemikiran lainnya tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.
b. Secara Aplikatif
1. Bagi Profesi Keperawatan
a) Pelayanan Asuhan Keperawatan
o Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi profesi dalam mengembangkan pemberian asuhan keperawatan yang dilakukan pada keperawatan keluarga sehingga keluarga mampu menerapkan pola asuh anak yang efektif.
o Sebagai sumber informasi bagi perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang pola asuh yang efektif terhadap pembentukan konsep diri: harga diri remaja.
b) Penelitian Keperawatan
o Mengembangkan penelitian keperawatan khususnya dalam keilmuan keperawatan jiwa, keperawatan anak, keperawatan keluarga dan keperawatan komunitas.
o Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.
c) Institusi Pendidikan Keperawatan
o Memberikan pengetahuan tentang jenis pola asuh orang tua dan pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian anak.
o Diharapakan dengan pengetahuan yang ada, tindakan preventif terhadap akibat negatif yang dapat di hasilkan dari pola asuh yang salah dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya masalah lain.
2. Bagi Iptek
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan khususnya bagi para orangtua dalam memberikan asuhan kepada anaknya.
3. Bagi Keluarga (Orangtua dan Anak)
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi atau gambaran dalam memberikan pola asuh yang efektif pada anak sehingga berdampak baik terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


1. TINJAUAN TENTANG REMAJA
Istilah remaja sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1998 dalam Aat Sriati, 2008). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1998) yang menyatakan bahwa secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar (Aat Sriati, 2008).

1.1 Batasan Usia Remaja
Mengenai batasan usia remaja itu sendiri, para ahli memasukkannya dalam beberapa periode. Menurut Hurlock (1998), masa remaja dibagi kedalam dua periode, yaitu : (1) remaja awal (early adolescence), antara usia 13 – 17 tahun untuk wanita dan 14 – 17 untuk laki-laki; (2) remaja akhir (late adolescence), antara 17 –21 tahun. Menurut Mappiare (1992) batasan usia remaja di Indonesia : (1) remaja awal, antara 12/13 – 17/18 tahun; (2) remaja akhir, antara 17/18 – 21/22 tahun (Aat Sriati, 2008).

1.2 Karakteristik Remaja
Ciri khas remaja sering disebut “storm and stress”, remaja sangat peka, sering berubah sikap atau haluan (Hall dalam Mappiare, 1992; Aat Sriati, 2008). Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, karena pada periode ini terjadi perubahan fisik dan perkembangan psikologisnya yang pesat, sehingga masa ini sering disertai dengan gejala dan permasalahan baik fisiologis maupun psikologis (Pudigjogyanti, 1995 dalam Aat Sriati, 2008). Masa remaja seringkali dikenal dengan nama mencari jati diri atau disebut dengan identitas ego (Erikcson, dalam Ali & Asrori, 2004 Aat Sriati, 2008). Karakteristik yang sering terjadi pada remaja (Soekanto, dalam Ali & Asrori, 2004; Aat Sriati, 2008): kegelisahan, pertentangan, mengkhayal, aktivitas kelkompok, keinginan mencoba sesuatu.



1.3 Tugas Perkembangan Remaja
Tugas-tugas perkembangan seorang remaja menurut Havighurst (www.geocities.com) adalah sebagai berikut :
 Mencapai suatu hubungan yang baru dan lebih matang antara lawan jenis yan seusia.
 Dapat menjalankan peran sosial maskulin dan feminin.
 Menerima keadaan fisik dirinya sendiri dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif.
 Mengharapakan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
 Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.
 Mempersiapkan karir ekonomi.
 Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
 Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan utnuk berperilkau dan mengembangkan ideologi.
Seorang remaja dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya dapat dipisahkan ke dalam tiga tahap secara berurutan (Kimmel, 1995: 16 dalam www.geocities.com). Tahap yang pertama adalah remaja awal, di mana tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikannya sebagai remaja adalah pada penerimaan terhadap keadaan fisik dirinya dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif.
Tahapan yang kedua adalah remaja madya, di mana tugas perkembangan yang utama adalah mencapai kemandirian dan otonomi dari orang tua, terlibat dalam perluasan hubungan dengan kelompok baya dan mencapai kapasitas keintiman hubungan pertemanan; dan belajar menangani hubungan heteroseksual, pacaran dan masalah seksualitas.
Tahapan yang ketiga adalah remaja akhir, di mana tugas perkembangan utama bagi individu adalah mencapai kemandirian seperti yang dicapai pada remaja madya, namun berfokus pada persiapan diri untuk benar-benar terlepas dari orang tua, membentuk pribadi yang bertanggung jawab, mempersiapkan karir ekonomi, dan membentuk ideologi pribadi yang di dalamnya juga meliputi penerimaan terhadap nilai dan sistem etik.
1.4 Masalah Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Syamsul Arifin (2008), dalam memenuhi tugas perkembangannya, remaja memiliki beberapa kesulitan atau bahaya yang mungkin dialami kaum remaja, antara lain:
1. Variasi kondisi kejiwaan, suatu saat mungkin ia terlihat pendiam, cemberut, dan mengasingkan diri tetapi pada saat yang lain ia terlihat sebaliknya-periang berseri-seri dan yakin. Perilaku yang sukar ditebak dan berubah-ubah ini bukanlah abnormal. Itu hanya perlu diprihatinkan bila ia terjerumus dalam kesulitan, kesulitan di sekolah atau kesulitan dengan teman-temannya.
2. Rasa ingin tahu seksual dan coba-coba, hal ini normal dan sehat. Rasa ingin tahu seksual dan bangkitnya birahi adalah normal dan sehat. Ingat, bahwa perilaku tertarik pada seks sendiri juga merupakan ciri yang normal pada perkembangan masa remaja. Rasa ingin tahu seksual dan birahi jelas menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual.
3. Membolos
4. Perilaku anti sosial, seperti suka mengganggu, berbohong, kejam dan agresif. Sebabnya mungkin bermacam-macam dan banyak tergantung pada budayanya. Akan tetapi, penyebab yang mendasar adalah pengaruh buruk teman, dan kedisiplinan yang salah dari orang tua terutama bila terlalu keras atau terlalu lunak-dan sering tidak ada sama sekali
5. Penyalahgunaan obat bius
6. Psikosis, bentuk psikosis yang paling dikenal orang adalah skizofrenia.



1.5 Teori – Teori Perkembangan Remaja
A. Teori Psikoanalisis
Bagi ahli teori psikoanalisis perkembangan terutama tidak didasari artinya, diluar kesadaran dan sangat diwarnai oleh emosi. Mereka percaya bahwa tingkah laku hanyalah ciri permukaan dan untuk betul-betul memahami perkembangan kita harus menganalisis arti simbolik tingkah laku dan kerja pikiran yang terdalam (Santrock, 2003)
A.1. Teori Freud
Freud (1917) (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa kepribadian mempunyai tiga struktur: id, ego dan superego. Id adalah struktur dari Freud tentang kepribadian yang terdiri dari naluri, yang merupakan sumber energi psikis seseorang. Dalam pandangan Freud, id sepenuhnya tidak disadari; id tidak mempunyai hubungan dengan realitas.
Ketika anak mengalami tuntutan dan hambtan dari realitas, suatu struktur kepribadian baru muncul, yaitu ego, struktur kepribadian yang berfungsi menghadapi tuntutan realitas. Ego disebut sebagai “cabang eksekutif” dari kepribadian karena ego membuat keputusan rasional. Id dan ego tidak mempunyai moralitas. Mereka tidak mempertimbangkan apakah keputusan itu benar atau salah. Superero adalah struktur kepribadian yang merupakan cabang moral dari kepribadian. Superego akan menimbang apakah sesuatu itu benar atau salah. Superego biasa kita sebut “hati nurani” kita.
Freud percaya bahwa kehidupan remaja dipenuhi oleh ketegangan dan konflik. Untuk mengurangi ketegangan ini, remaja menyimpan informasi dalam pikiran tidak sadar mereka, ia juga mengatakan bahwa tingkah laku yang spele pun mempunyai makna khusus bila kekuatan tidak sadar dibalik tingkah laku tersebut ditampilkan.
Bagimana ego mengatasi konflik antara tuntutannya untuk realitas, keinginan id dan kekangan dari superego? Dengan menggunakan mekanisme pertahanan diri (defense mecnism). Ada dua hal penting tentang pertahanan diri. Pertama, mereka tidak disadari; remaja tidak menyadari bahwa mereka menggunakan mekanisme pertahanan untuk melindungi ego mereka dan mengurangi rasa cemas. Kedua, kalau digunakan secara moderat atau sementara waktu, mekanisme pertahanan tidak berakibat negatif. Akan tetapi, individu sebaiknya tidak membiarkan mekanisme pertahanan mendominasi tingkah laku mereka dan menecegah mereka menghadapi tuntutan realitas.
Freud beranggapan bahwa kepribadian masa dewasa ditentukan oleh cara penanggulangan konflik antara sumber kenikmatan pada masa dini,mulut, anus dan genital dengan tuntutan realitas. Kalau konflik ini tidak teratasi, individu mungkin menjadi tertahan pada tahap perkembangan tertentu.
Tahap-tahap permulaan dari perkembangan kepribadian:
1 Tahap oral adalah tahap perkembangan yang pertama, terjadi pada usia 18 bulan pertama, dimana kesenangan bayi berpusat di sekitar mulut.
2 Tahap anal, adalah tahap perkembangan yang kedua, terjadi antara usia 1,5 tahun sampai 3 tahun, dimana kesenangan terbesar anak meliputi anus dan fungsi pembuangan yang berhubungan dengan anus.
3 Tahap Falik adalah tahap perkembangan yang terjadi antara 3 sampai 6 tahun. Selama tahap falik, kesenangan berpusat pada alat kelamin karena anak menemukan bahwa memanipulasi diri sendiri memberikan kenikmatan.Dalam pandangan Freud, tahap falik penting dalam perkembangan kepribadian karena masa inilah kompleks Oedipus timbul. Kompleks Oedipus dalam teori Freud adalah keinginan yang kuat dari anak kecil untuk menggantikan orang tua dari jenis kelamin yang sama dan menikmati afeksi dari orang tua dengan jenis kelamin berbeda
4 Tahap latensi, adalah tahap perkembangan yang terjadi antara usia 6 tahun dan pubertas; anak menekan semua minat seksual dan mengembangkan leterampilan intelektual dan sosial.
5 Tahap genital, adalah tahap perkembagan terakhir, mulai terjadi dari masa pubertas. Tahap genital adalah masa kebangkitan kembali dorongan seksual; sumber kesenangan seksual sekarang adalah orang diluar keluarga.
A.2. Teori Erikson (Santrock, 2003)
1 Percaya versus tidak percaya (trust versus mistrust) adalah tahap psikososial Erikson yang pertama, yang dialami tahun pertama kehidupan. Rasa percaya tumbuh dari adanya perasaan akan kenyamanan fisik dan rendahnya rasa ketakutan dan kecemasan tentang masa depan.
2 Otonomi versus malu dan ragu-ragu (autonomy versus shame and doubt) tahap perkembangan yang terjadi pada akhir masa bayi dan “toddler” (usia 1-3 tahun). Setelah mengembangkan rasa percaya pada pengasuhnya, anak mulai menemukan bahwa tingkah lakunya adalah milik mereka sendiri. Anak mulai menampilkan rasa kemandirian atau otonomi. Mereka menjadi sadar kemauannya sendiri. Kalau anak terlalu di kekang atau dihukum dengan terlalu keras, mereka mungkin mengembangkan perasaan malu dan ragu-ragu.
3 Inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt), terjadi pada masa prasekolah. Anak diminta untuk bertanggung jawab atas badannya, tingkah lakunya dan permainanya. Mengembangkan tanggung jawab akan menimbulkan inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan mungkin timbul pada anak yang tidak bertanggung jawab dan anak yang dibentuk menjadi pencemas. Namun Erikson percaya bahwa kebanyakan rasa bersalah dikompensasikan dengan perasaan berprestasi.
4 Industri vs perasaan rendah diri (industry vs inferiority), terjadi kira-kira pada usia sekolah dasar.
5 Identitas vs kekacauan identitas (identity vs identity confusion), tahap perkembangan yang terjadi pada masa remaja. Pada saat ini individu dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan kemana tujuan hidupnya. Remaja dihadapkan pada banyak peran baru dan status dewasa, misalnya yang menyangkut perkerjaan dan asmara. Orangtua seharusnya memberi kesempatan pada remaja untuk mengeksplorasi peran yang berbeda-beda dan jalan yang berbeda dalam peran tertentu. Bila remaja mengeksplorasi peran tersebut dalam cara yang sehat dan mendapatkan jalan yang positif untuk diikuti dalam hidupnya, suatu identidas yang positif akan terbentuk. Bila suatu identitas dipaksakan kepada remaja oleh orangtua, bila remaja kurang mengeksplorasi peran-peran yang berbeda, dan bila jalan ke masa depan yang positif tidak ditentukan, maka kekacauan identitas terjadi.
6 Intimasi vs isolasi (intimacy vs isolation), tahap perkembangan yang dialami pada masa remaja dewasa awal. Pada masa ini, individu mengalami tugas perkembangan untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain.
7 Generativitas vs stagnasi (generativity vs stagnation), tahap perkembangan yang dialami pada masa dewasa tengah. Kepedulian utamanya adalah membantu generasi yang lebih muda dalam mengembangkan dan membangun hidup yanglebih berguna (generativitas). Stagnasi adalah perasaan individu bahwa ia tidak berbuat apapun untuk membantu generasi penerus.
8 Integritas vs putus asa (integrity vs despair), tahap perkembangan terakhir yang dialami individu pada masa dewasa akhir.

B. Teori Kognitif
Bila teori-teori psikoainalisis menekankan pentingnya pikiran remaja yang tidak disadari, maka teori-teori kognitif memungkinkan pikiran-pikiran sadar mereka.
B.1 Teori Piaget
Piaget menekankan bahwa remaja menyesuaikan pikiran mereka dengan memasukkan gagasan-gagasan baru, karena tambahan informasi akan menambahkan pemahaman. Piaget percaya bahwa kita melewati empat tahapan dalam memahami dunia. Setiap tahap berhubungan dengan umur tertentu dan terdiri dari cara berpikir yang berbeda.

a. Tahap Sensorimotorik (Sensorimotor stage), yang berlangsung dari lahir sampai kira-kira berusia 2 tahun, anak mengkonstruksikan pemahaman mengenai dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman sensori seperti melihat dan mendengar dengan tindakan fisik, motorik. Pada permulaan tahap ini anak hanya mempunyai pola-pola refleks untuk bertindak. Pada akhir tahap ini, anak umur 2 tahun telah mempunyai pola sensorimotorik yang kompleks dan mulai beroperasi dengan simbol-simbol premitif.

b. Tahap Pra Operasional (Pre Operasional Stage), yang berlangsung dari kira-kira 2-7 tahun, anak mulai merepresentasikan dunia dengan kata-kata, citra dan gambar-gambar. Pikiran simbolik sudah lebih dari sekedar hubungan sederhana antara informasi sensoris dan aktivitas fisik.

c. Tahap Operasional Konkret (Concrete Operasional Stage), berlangsung kira-kira dari usia 7-11 tahun. Pada tahap ini anak dapat melakukan operasi dan penalaran logis, menggantikan pemikiran intuitif, sepanjang penalaran dapat diaplikasikan pada contoh khusus atau konkrit.

d. Tahap Operasional Formal (Formal Operasional Stage), yang berlangsung antara usia 11 sampai 13 tahun. Padsa tahap ini individu bergerak melebihi dunia pengalaman yang aktual dan konkrit dan berpikir lebih abstrak serta logis. Sebagai bagian dari kemampuan untuk berpikir lebih abstrak, remaja mengembangkan citra tentang hal-hal yang ideal. Mereka mungkin memikirkan tentang seperti apa orangtua yang ideal dan membandingkan orangtuanya dengan standar ideal ini. Mereka mulai berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan untuk masa depan dan merasa terpesona dengan apa yang mungkin mereka capai. Dalam memecahkan masalah, pemikir operasional formal lebih sistematis, mengembangkan hipotesis tentang mengapa sesuatu terjadi seperti itu, dan kemudian menguji hipotesis ini secara deduktif.






B.2 Teori Pemrosesan Informasi
Pemrosesan informasi (information processing) berhubungan dengan bagaimana individu memproses informasi mengenai dunianya, bagaimana informasi masuk ke pikiran, bagaimana informasi tersebut disimpan dan ditransformasi, dan bagaimana informasi tersebut diambil kembali untuk melakukan aktivitas kompleks seperti memecahkan masalah dan penalaran.
2. TINJAUAN TENTANG KONSEP DIRI
2.1 Pengertian Konsep Diri
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart, 2007). Konsep diri tidak terbentuk waktu lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan dengan realitas dunia.
2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Stuart dan Sudeen dalam Qyonglee (2008) ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari teori perkembangan, significant other (orang yang terpenting atau yang terdekat) dan Self Perception (persepsi diri sendiri).
• Teori perkembangan.
Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pangalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.

• Significant Other ( orang yang terpenting atau yang terdekat )
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi.
• Self Perception ( persepsi diri sendiri )
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.
2.3 Pembagian Konsep Diri
Konsep diri terbagi menjadi beberapa komponen . Pembagian konsep diri tersebut di kemukakan oleh Gail W. Stuart ( 2007), yang terdiri dari :
• Citra tubuh- kumpulan sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi serta perasaan masa lalu dan sekarang tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi.
• Ideal diri- persepsi individu tentang bagaimana dia seharusnya berprilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai personal tertentu.
• Harga diri- penilaian individu tentang nilai personal yang diproleh dengan menganalisis seberapa sesuai prilaku dirinya dengan ideal diri.
• Performa peran- serangkaian pola prilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial. Peran yang ditetapkan adalah peran yang dijalani dan seseorang tidak mempunyai pilihan.
• Identitas pribadi- prinsip pengorganisasian kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi dan keunikan individu.
3. TINJAUAN TENTANG HARGA DIRI
3.1 Pengertian Harga Diri
Harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran penting dan berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu. Coopersmith (1967) (dikutip dalam Burn, 1998) mengatakan bahwa : “Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, keberhargaan”. Secara singkat, harga diri adalah “Personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya”.
3.2 Karakteristik Harga Diri
Menurut Coopersmith (dalam Burn, 1998) harga diri mempunyai beberapa karakteristik, yaitu :
(1) Harga diri sebagai sesuatu yang bersifat umum
(2) Harga diri bervariasi dalam berbagai pengalaman
(3) Evaluasi diri.

Individu dengan harga diri yang tinggi memiliki perasaan yang berasal dari penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan dan kegagalan, tetap merasa sebagai orang yang penting dan berharga (Stuart, 2007). Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan di dunia ini. Misalnya seorang remaja yang memiliki harga diri yang cukup positif, dia akan yakin dapat mencapai prestasi yang dia dan orang lain harapkan. Pada gilirannya, keyakinan itu akan memotivasi remaja tersebut untuk sungguh-sungguh mencapai apa yang diinginkan (Tambunan, 2001).

Sebaliknya, remaja yang memiliki harga diri yang negatif akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga. Pada remaja yang memiliki harga diri negatif inilah sering muncul perilaku negatif. Berawal dari perasaan tidak mampu dan berharga, mereka mengkompensasikannya dengan tindakan lain yang, seolah-olah, membuat dia lebih berharga. Misalnya dengan mencari pengakuan dan perhatian dari teman-temannya. Dari sinilah kemudian muncul penyalahgunaan obat atau berkelahi, misalnya, yang dilakukan demi mendapatkan pengakuan dari lingkungannya (Tambunan, 2001).

3.3 Pembentukan Harga Diri
Harga diri mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya sebagai orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga individu mempunyai perasaan harga diri (Burn, 1998 dalam Aat Sriati, 2008).

3.4 Aspek-Aspek dalam Harga Diri
Coopersmith (1998) (Dalam Aat Sriati, 2008) membagi harga diri kedalam empat aspek:
1) Kekuasaan (power)
Kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain. Kemampuan ini ditandai adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain.

2) Keberartian (significance)
Adanya kepedulian, penilaian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain.

3) Kebajikan (virtue)
Ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan.

4) Kemampuan (competence)
Sukses memenuhi tuntutan prestasi.


3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Diri

Faktor-faktor yang melatarbelakangi harga diri yaitu : (1)
pengalaman; (2) pola asuh; (3) lingkungan; dan (4) sosial ekonomi
(Coopersmith, dalam Burn, 1998; Aat Sriati, 2008).

Pengalaman merupakan suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan, dan kejadian yang pernah dialami individu yang dirasakan bermakna dan meninggalkan kesan dalam
hidup individu (Yusuf, 2000 dalam Aat Sriati, 2008).

Pola asuh merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya yang meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatiannya serta tanggapan terhadap anaknya (Shochih, 1998 dalam Aat Sriati, 2008).

Lingkungan memberikan dampak besar kepada remaja melalui hubungan yang baik antara remaja dengan orangtua, teman sebaya, guru dan lingkungan sekitar sehingga menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam penerimaan sosial dan harga dirinya (Yusuf, 2000 dalam Aat Sriati, 2008). James F Calhoun dan Joan R. A (1995) dalam bukunya Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan, menambahkan satu komponen lingkungan lagi yang turut mempengaruhi harga diri, yaitu masyarakat. Penilaian masyarakat terhadap individu akhirnya sampai kepada anak dan mempangaruhi konsep diri: harga diri.

Sosial ekonomi merupakan suatu yang mendasari perbuatan
seseorang untuk memenuhi dorongan sosial yang memerlukan
dukungan finansial yang berpengaruh pada kebutuhan hidup seharihari (Ali dan Asrori, 2004 dalam Aat Sriati, 2008).

3.6 Harga Diri Remaja
Menurut Flemming & Courtney (1984) dalam Frey (1994) dalam Aat Sriati, (2008), mengemukakan bahwa harga diri pada remaja dibagi menjadi lima aspek, yaitu :
1) Perasaan ingin dihormati
Perasaan ingin diterima oleh orang lain, perasaan ingin dihargai, didukung, diperhatikan, dan merasa diri berguna.

2) Percaya diri dalam bersosialisasi
Merasa percaya diri, mudah bergaul dengan orang lain, baik baru dikenal maupun baru dikenal.

3) Kemampuan akademik
Sukses memenuhi tuntutan prestasi ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengerjakan bermacam-macam tugas pekerjaan dengan baik dan benar.

4) Penampilan fisik
Kemampuan merasa diri punya kelebihan, merasa diri menarik, dan merasa percaya diri.

5) Kemampuan fisik
Mampu melakukan sesuatu dalam bentuk aktivitas, dapat berprestasi dalam hal kemampuan fisik.

.
4. TINJAUAN TENTANG POLA ASUH ORANG TUA
4.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua.
Menurut Rusdijana (2004) pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relative konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negative maupun positif.
4.2 Jenis Pola Asuh Orang Tua
Orang tua ingin remaja mereka bertumbuh menjadi individu yang dewasa secara sosial dan mereka sering kali merasa putus asa dalam peran mereka sebagai orang tua (Santrock, 2003). Menurut Diana Baumrind 1971 dalam Santrock 2003, pola asuh orangtua dapat dibagi menjadi 4:
1. Pengasuhan Autoritarian/ Pola asuh Otoriter
Pengasuhan Autoritarian/ Pola asuh Otoriter adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal.
Pengasuhan authoritarian cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Sebagai contoh, seorang orang tua autoritarian bisa berkata, “Kamu harus melakukan apa yang saya katakana. Tidak ada tawar-menawar!” Remaja yang orang tuanya otoriter sering kali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan dan memiliki komunikasi yang rendah.

2. Pengasuhan Autoritatif/ Pola asuh Demokratis
Pengasuhan Autoritatif/ Pola asuh demokratis mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka, pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja. Seorang ayah yang bersifat autoritatif, contohnya, bisa merangkul si remaja dengan nyaman dan berkata “Kamu tahu, kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Mari bicarakan bagaimana kamu bisa mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik di masa depan”. Remaja yang orang tuanya yang bersifat autoritatif akan sadar diri dan bertanggung jawab secara sosial.
Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih (Rusdijana 2004).
3. Pengasuhan Permisif
Pola asuh Permisif atau pemanja biasanya meberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.
4. Pola asuh Penelantar.
Pola asuh tipe yang terakhir adalah tipe Penelantar. Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya (Rusdijana, 2004)




5. TINJAUAN INSTRUMEN
5.1. Skala Perasaan Harga Diri
Skala ini dirancang oleh Rosenberg (1965) dalam bukunya Society and Adolescent Self Image (Burn, 1993).
5.2. Skala “Bagaimana Saya Melihat Diri Saya Sendiri”

Burns, dalam bukunya Konsep Diri (1993), dijelaskan bahwa skala ini dirancang oleh Gordon (1966), dengan rentang usia responden 8-17 tahun. Skala ini menilai sikap-sikap terhadap bentuk fisik, emosi-emosi, teman sebaya dan sekolah. Bentuk skala bagi anak-anak pra-remaja berisi 40 buah item dan bentuk untuk remaja 42 item. Berikut contoh instrument dari Gordon:
Berilah tanda V pada kotak yang sesuai yang menunjukkan bagaimana perasaan kamu mengenai diri kamu sendiri.
Pernyataan Sangat setuju Setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju
1. Saya merasa bahwa saya seorang yang berharga, setidaknya sejajar dengan yang lainnya.
2. Dalam segalanya, saya cenderung untuk merasa saya seorang yang gagal.
3. Saya merasa saya mempunyai sejumlah sifat yang baik.
4. Saya merasa tidak mempunyai banyak yang dapat dibanggakan.
5. Saya mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan sebaik orang lain.
6. Saya bersikap positif terhadap diri saya sendiri.
7. Secara keseluruhannya, saya merasa puas dengan diri saya sendiri.
8. Saya berharap saya dapat lebih menghargai diri saya sediri.
9. Kadang-kadang saya merasa sebagai orang yang tidak berguna.
10. Kadang-kadang saya berpikir bahwa saya tidak baik sama sekali.

5.3. Skala Konsep Diri Anak- Anak
Skala ini dibuat oleh Piers dan Harris (1964), dengan wilayah usia 8-16 tahun (Burns, 1993). Skala ini merupakan skala yang cakupannya luas yang meliputi penampakan fisik, tingkah laku sosial, status akademis, depresi, ketidakpuasan dan perasaan puas terhadap diri, dengan pertanyaan-pertanyaan yang seimbang antara yang positif dan negative dan diantara refleksi-refleksi konsep diri yang tinggi dan rendah. Instrument aslinya:
Pernyataan Ya Tidak
1. Teman-teman sekelas saya mempermainkan saya
2. Saya seorang yang berbahagia
3. Sulit bagi saya untuk berteman
4. Seringkali saya merasa sedih
5. Saya cerdik
6. Saya seorang pemalu
7. Saya menjadi nervous ketika guru datang menghampiri saya
8. Penampilan saya mengganggu saya
9. Ketika saya tumbuh menjadi dewasa, saya akan menjadi orang penting
10. Saya menjadi cemas ketika kami menjalani ulangan sekolah
11. Saya tidak popular
12. Saya bertingkah laku baik di sekolah
13. Biasanya kesalahan saya bila sesuatu tidak beres
14. Saya yang menyebabkan kesulitan di dalam keluarga saya
15. Saya kuat
16. Saya mempunyai ide-ide yang bagus
17. Saya sebagai anggota keluarga yang penting di dalam keluarga saya
18. Saya biasanya menginginkan cara saya sendiri
19. Saya trampil membuat barang-barang dengan menggunakan tangan saya
20. Saya mudah menyerah
21. Saya pandai di dalam pekerjaan sekolah saya
22. Saya merasa malu tentang banyak hal yang saya lakukan
23. Saya dapat menggambar dengan bagus
24. Saya ber




BAB III METEDOLOGI PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Kerangka penelitian ini dibuat berdasarkan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.
Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam gambar di bawah ini:


















Keterangan: : Area Penelitian
: Tidak Diteliti
Kerangka konsep tersebut menjelaskan bahwa konsep diri: harga diri pada remaja di pengaruhi oleh pengalaman, pola asuh orang tua, lingkungan dan teman sosial ekonomi. Namun pada penelitian ini, peneliti hanya ingin melihat pengaruh pola asuh orang tua terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja. Peneliti berharap melalui penelitian ini, dapat juga mengidentifikasi jenis pola asuh yang pada umumnya membentuk konsep diri: harga diri tinggi (positif) pada remaja dan jenis pola asuh yang membentuk konsep diri: harga diri yang rendah (negatif) pada remaja.

B. Definisi Operasional
1. Variabel: Pola Asuh
• Definisi Konseptual
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu (Rusdijana, 2004).
• Definisi Operasional
Pola prilaku orang tua dalam merawat, membesarkan, mendidik dan memperlakukan anak-anaknya, mulai sejak lahir sampai remaja. Pola asuh orang tua dalam suatu keluarga adalah jenis pola asuh yang paling dominan digunakan dari keempat jenis pola asuh.
• Cara Ukur
Peneliti memberikan pertanyaan terkait pola asuh orang tua terhadap responden (remaja) melalui kuesioner. Pertanyaan yang diberikan dalam bentuk open ended question. Pertanyaan tersebut berjumlah 24 soal, dibagi menjadi 4 bagian, masing-masing 6 soal untuk pola asuh otoriter (no 1, 5, 9, 13, 17, 21), demokratis (no 2, 6, 10, 14, 18, 22), permisif (no 3, 7, 11, 15, 19, 23) dan penelantar (no 4, 8, 12, 16, 20, 24).
• Alat Ukur
• Hasil Ukur
Nilai total tertinggi dari masing-masing tipe pola asuh menunjukkan tipe pola asuh yang dominan dalam keluarga. O: Otoriter, D: Demokratis, P: Permisif, L: Penelantar.
• Skala Ukur
Nominal

2. Variabel: Harga Diri
• Defenisi Konseptual
Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, keberhargaan (Coopersmith, 1967 dalam Burn, 1998)
• Defenisi Operasional
Gambaran dan pernyataan personal remaja tentang nilai dirinya, apakah dapat menerima diri apa adanya, merasa diri berguna, diperhatikan, percaya diri, mudah bergaul dengan orang lain, merasa punya kelebihan, atau sebaliknya.
• Cara Ukur
Memberikan pertanyaan dalam bentuk kuesioner tentang harga diri pada remaja. Pertanyaan yang diajukan berupa 13 pertanyaan yang menggambarkan harga diri positif dan 10 pertanyaan yang menggambarkan harga diri negative (rendah). Pertanyaan tersebut diberikan dengan menggunakan skala Likert, diberi nilai:
o Sangat tidak setuju : 1
o Tidak setuju : 2
o Setuju : 3
o Sangat setuju : 4
• Alat Ukur
Kuesioner B
• Hasil Ukur
Hasil ukur diproleh dengan menghitung hasil jawaban responden dari kuesioner dan kemudian mengkategorikannya dengan mencari cut of point menggunakan nilai mean. Harga diri tinggi apabila total nilai lebih besar atau sama dengan nilai mean, sedangkan untuk harga diri rendah apabila total nilai kurang dari nilai mean
• Skala Ukur
Nominal




DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Syamsul. (2008). “Perkembangan Masa Remaja”. http://www.ipin4u.esmartstudent.com/psiko.htm. Diambil pada 10 November 2008, pukul 18.09 WIB
Burns, R.B. (1993). Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Prilaku; alih bahsa, Eddy; editor Surya Satyanegara. Jakarta: Arcan
Calhoun, James F dan Joan Ross Acocella. (1995). Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Ed. 3. Penerjemah: R.S Satmoko. Semarang: IKIP Semarang Press
Friedman, Marylin M. (1998). Family Nursing: Theory, Research, and Practice. Ed 4. California: Appleton & Lange Stamford Connecticut.
Ma’shum, Y dan Wahyurini, C. (2002). “Memahami Perkembangan Kita”. http://www.e-psikologi.com/epsi/anak_detail.asp?id=350. Diambil pada 10 November 2008 pukul 17.40

Nn. (2008). “Bimbingan Bagi Orang Tua Dalam Penerapan Pola Asuh untuk Meningkatkan Kematangan Sosial Anak”. (http/www.schoolcounselor.org/files/8-1-1%20 Gysbers.pdfl. Diambil pada 29 Oktober 2008 pukul 08. 00 WIB)
Nn. (2008). “Tugas Perkembangan Remaja”. http://www.geocities.com/sebaya01/perkembangan.htm. Diambil pada 10 November 2008, pukul 18.10 WIB
Qumana. 2008. “Konsep Diri”. http://smart-life.co.cc/?p=9. Diambil pada tanggal 10 November 2008 pukul 17.45
Qyonglee . (2008). “Konsep Diri”. http://qyonglee.multiply.com/journal/item/26. diambil pada 12 November 2008, pukul 08. 40 WIB
Rusdijana . (2004). “Rasa Percaya Diri Anak Adalah Pantulan Pola Asuh Orang Tuanya”. http://dwpptrijenewa.isuisse.com/bulletin/?m=200604. Diambil pada 12 November 2008, pukul 08.00 WIB.
Sriati, Aat. 2008. “Harga Diri Remaja.”
http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/HARGA%20DIRI.pdf. Diambi pada 10 November 2008 pukul 17.35
Stuart, Gail W. (2007). Buku Saku Kepeawatan Jiwa. Ed 5. Alih bahasa, Ramona P. Kapoh, Egi Komara Yudha. Jakarta: EGC
Tambunan, Raymond . 2001. “Harga Diri Remaja.” http://www.e-psikologi.com/remaja/240901.htm. Diambil pada 10 November 2008 pukul 18.00
Yanti D.P. (2008). “Perkembangan Konsep Diri.” http://bawana.wordpress.com/2008/04/19/perkembangan-konsep-diri/. Diambil pada 12 November 2008 pukul 08.10 WIB.