Tuesday 11 August 2009

Proposal Penelitian "Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Pembentukan Konsep Diri: Harga Diri Remaja di Depok"

PROPOSAL PENELITIAN


HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PEMBENTUKAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI PADA REMAJA












Dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata ajar
Metodologi Riset Keperawatan pada
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia


Oleh

Leo Ginting
1305000659







FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2008





BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 11 sampai 20 tahun (Donna L. Wong, 2004)
Masa remaja ini merupakan masa transisi yang menjembatani masa kanak-kanak yang tidak matang ke masa dewasa yang matang. Macam transisi yang berbeda akan membawa pengaruh yang berbeda pula bagi individu yang mengalaminya (www.geocities.com). Masa ini hampir selalu merupakan masa-masa sulit bagi remaja dalam beradaptasi terhadap tumbuh kembang yang dialaminya, termasuk pembentukan konsep diri (Yahya Ma’shum dan Chatarina Wahyurini, 2002). Pada masa remaja konsep diri merupakan inti dari kepribadian (Hurlock, 1973 dalam Yati, 2008)

Berkaitan dengan masa remaja, hasil-hasil studi yang panjang di berbagai negara menunjukkan bahwa masa yang paling penting dan menentukan perkembangan harga diri seseorang adalah pada masa remaja. Pada masa inilah terutama seseorang akan mengenali dan mengembangkan seluruh aspek dalam dirinya, sehingga menentukan apakah ia akan memiliki harga diri yang positif atau negatif (Tambunan, 2001).
Tetapi perlu diketahui bahwa konsep diri termasuk didalamnya harga diri, terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa (Qumana, 2008). Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan atau herediter. Konsep diri tidak terbentuk waktu lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan dengan realita (Stuart, 2002).

Konsep diri sendiri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya (Qumana, 2008). Konsep diri terdiri dari beberapa komponen, seperti: citra tubuh, ideal diri, harga diri, performa peran dan identitas pribadi (Stuart, 2002). Tetapi pada penelitian ini konsep diri akan difokuskan pada harga diri. Harga diri mengandung arti suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap–sikap yang dapat bersifat positif dan negatif. Bagaimana seseorang menilai tentang dirinya akan mempengaruhi perilaku dalam kehidupannya sehari–hari (Tambunan, 2001)

Seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat memiliki harga diri yang positif. Sebaliknya seseorang yang mempunyai konsep diri negatif berarti memiliki harga diri yang negatif pula. Untuk sebagian besar remaja, rendahnya rasa percaya diri hanya menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional yang bersifat sementara (Damon, 1991 dalam Santrock, 2003). Tetapi bagi beberapa remaja, rendahnya percaya diri dapat menimbulkan banyak masalah seperti depresi, bunuh diri, anoreksia nervosa, delinkuensi dan masalah penyesuaian diri lainnya (Markus & Nurius, 1986; Pfeffer, 1986; Damon & Hart, 1988; Harter & Marold, 1992; Frenzel, 1994; Santrock, 2003).
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa harga diri (Self esteem) ini adalah sebuah keterampilan yang dapat dipelajari dan dilatih oleh siapapun seperti halnya mempelajari banyak hal dalam kehidupan ini (Bppsdmk, 2007). Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri sebagaimana harga diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini dalam kehidupan bersama orang tua. Konsep diri bukanlah dari pembawaan lahir tetapi berkembang dari beribu-ribu pengalaman ‘I’, dan ‘me’ dan ‘mine’ yang dibeda-bedakan dan yang mengumpul sedikit demi sedikit (R.B Burns, 1993 hal186).
Proses pembentukan ini tidak terjadi dalam waktu singkat melainkan melalui proses interaksi secara berkesinambungan selama proses perkembangan dirinya menjadi dewasa (Yanti, 2008). Interaksi yang berkesinambungan tersebut dapat dipelajari oleh individu melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain termasuk berbagai stressor yang dilalui individu tersebut. Hal ini akan membentuk persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan penilaian persepsinya terhadap pengalaman akan situasi tertentu (Qyonglee, 2008).
Kosep diri sebagai suatu objek timbul di dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya (Mead, 1934 dalam R.B Burns, 1993 hal. 19). Interaksi sosial untuk pertama kalinya dipelajari seorang individu adalah di keluarga. Keluarga merupakan agen sosialisasi yang universal dan yang terutama (R.B Burns 1993 hal 256). Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga melalui pola asuh orang tua secara kuat sangat mempengaruhi tingkat perkembangan individu dalam pencapaian kesuksesan atau kegagalan dalam pergaulana dalam masyarakat (Friedman, 1998).
Keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, kegiatan menyusui, efektif dan ekonomis. Di dalam keluargalah kali pertama anak-anak mendapat pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spiritual. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak (www.schoolcounselor.org).
Sifat dan perilaku anak sangat dipengaruhi dengan pola asuh kedua orangtuanya. Terlalu memanjakan atau memandang sebelah mata keberadaan mereka, bisa berakibat buruk terhadap kepribadian mereka kelak (Surya, 2008). Oleh sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalan pola asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negative, dan sikap positif orangtua akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri (Qumana, 2008).
Menurut Papalia & Olds (1993), ada beberapa karakteristik orang tua yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan harga diri anak. Menurut mereka, orang tua yang hangat, responsive dan memiliki harapan-harapan yang realistik akan meningkatkan harga diri anak, sedangkan orang tua yang perfeksionis, suka mengkritik, terlalu mengontrol atau terlalu melindungi, memanjakan, mengabaikan, serta tidak memberikan batasan-batasan atau aturan-aturan yang jelas dan konsisten akan menurunkan tingkat harga diri anak (Rusdijana, 2004)
Pola membesarkan anak yang memudahkan konsep diri yang positif pertama kali diperlihatkan oleh Stott (1939) yang setelah mempelajari 1.800 anak remaja mencatat bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga-keluarga dimana terdapat peneriamaan, rasa saling percaya dan kecocokan di antara orangtua dan anak, lebih baik penyesuaian dirinya, lebih mandiri dan berpandangan lebih positif tentang diri mereka sendiri. Anak-anak yang berasal dari keluarga-keluarga dimana terdapat ketidakcocokan diantara anggota-anggota keluarga pada umumnya kemampuan untuk menyesuaikan diri kurang Behrens (1954) juga memperlihatkan bahwa gaya pribadi orantua dapat mempengaruhi konsep diri anak untuk menjadi lebih baik ataupun lebih buruk (R.B Burns, 1993 hal 256).
Terdapat 4 macam pola asuh orang tua yaitu : pola asuh demokratis, pola asuh otoriter, pola asuh permisif, pola asuh penelantar (Baumrind, 1967 dalam Rusdijana 2004). Masing – masing jenis pola asuh ini memiliki karakteristik dan ciri khas tersendiri/ cara yang berbeda dalam memperlakukan anak atau mengasuh anaknya.
Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif terhadap orang-orang lain. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. Berbeda dengan dua pola asuh sebelumnya, pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial, dan pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang moody, impulsive, agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, self esteem (harga diri) yang rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman (Rusdijana, 2004).
Namun pembentukan konsep diri pada anak tidak hanya ditentukan oleh pola asuh orangtua. Faktor-faktor yang melatarbelakangi harga diri juga dipengaruhi oleh pengalaman, lingkungan dan sosial ekonomi (Coopersmith, 1967, dalam Burn, 1998).
B. RUMUSAN MASALAH

Masa remaja merupakan masa terpenting bagi seseorang untuk menemukan dirinya (Hollingworth, dalam Jersild, 1965; Yanti, 2008). Mereka harus menemukan nilai-nilai yang berlaku dan yang akan mereka capai di dalamnya. Remaja memiliki pemikiran tentang siapakah diri mereka dan apa yang membuat mereka berbeda dari orang lain. Penjelasan tentang diri akan dimulai dari informasi mengenai pemahaman diri remaja dan kemudian rasa percaya dan konsep diri (Santrock, 2003).

Menurut Rusdijana (2004) rasa percaya diri anak adalah pantulan pola asuh orang tuanya. Ini berarti bahwa sifat dan prilaku anak dipengaruhi oleh kedua orangtuanya. Terlalu memanjakan atau memandang kebutuhan mereka sebelah mata, bisa berakibat buruk terhadap kebiasaan mereka kelak. Pembentukan konsep diri selain dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, juga di pengaruhi oleh teman sebaya, pengalaman, lingkungan dan sosial ekonomi. Dari setiap hal yang mempengaruhi pembentukan konsep diri (harga diri) tersebut, peneliti ingin menitikberatkan pada pola asuh, dengan melihat seberapa besar pengaruh pola asuh orang tua terhadap pembentukan konsep diri; harga diri pada remaja.

Dengan melihat latar belakang diatas, peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja, serta mempelajari hubungan masing-masing pola asuh terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada anak remaja. Dari keemapat jenis pola asuh orang tua, peneliti juga ingin mempelajari karakteristik pola asuh dan karakteristik-karakteristik anak terhadap pembentukan konsep diri; harga diri dalam kaitannya dengan pola asuh orang tua.






C. TUJUAN PENELITIAN
a. Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara pola asuh orangtua dengan pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.
b. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi data demografi respondent; usia, jenis kelamin, status dalam keluarga, dan suku.
b. Mengidentifikasi jenis pola asuh orang tua.
c. Mengidentifikasi karakteristik-karakteristik anak terhadap pembentukan konsep diri; harga diri dalam kaitannya dengan pola asuh orang tua.
d. Menganalisis pola asuh orangtua dalam pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.


D. MANFAAT PENELITIAN

a. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan baru tentang pola asuh orang tua yang positif terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja, dan menstimulus pemikiran lainnya tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.
b. Secara Aplikatif
1. Bagi Profesi Keperawatan
a) Pelayanan Asuhan Keperawatan
o Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi profesi dalam mengembangkan pemberian asuhan keperawatan yang dilakukan pada keperawatan keluarga sehingga keluarga mampu menerapkan pola asuh anak yang efektif.
o Sebagai sumber informasi bagi perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang pola asuh yang efektif terhadap pembentukan konsep diri: harga diri remaja.
b) Penelitian Keperawatan
o Mengembangkan penelitian keperawatan khususnya dalam keilmuan keperawatan jiwa, keperawatan anak, keperawatan keluarga dan keperawatan komunitas.
o Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.
c) Institusi Pendidikan Keperawatan
o Memberikan pengetahuan tentang jenis pola asuh orang tua dan pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian anak.
o Diharapakan dengan pengetahuan yang ada, tindakan preventif terhadap akibat negatif yang dapat di hasilkan dari pola asuh yang salah dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya masalah lain.
2. Bagi Iptek
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan khususnya bagi para orangtua dalam memberikan asuhan kepada anaknya.
3. Bagi Keluarga (Orangtua dan Anak)
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi atau gambaran dalam memberikan pola asuh yang efektif pada anak sehingga berdampak baik terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


1. TINJAUAN TENTANG REMAJA
Istilah remaja sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1998 dalam Aat Sriati, 2008). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1998) yang menyatakan bahwa secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar (Aat Sriati, 2008).

1.1 Batasan Usia Remaja
Mengenai batasan usia remaja itu sendiri, para ahli memasukkannya dalam beberapa periode. Menurut Hurlock (1998), masa remaja dibagi kedalam dua periode, yaitu : (1) remaja awal (early adolescence), antara usia 13 – 17 tahun untuk wanita dan 14 – 17 untuk laki-laki; (2) remaja akhir (late adolescence), antara 17 –21 tahun. Menurut Mappiare (1992) batasan usia remaja di Indonesia : (1) remaja awal, antara 12/13 – 17/18 tahun; (2) remaja akhir, antara 17/18 – 21/22 tahun (Aat Sriati, 2008).

1.2 Karakteristik Remaja
Ciri khas remaja sering disebut “storm and stress”, remaja sangat peka, sering berubah sikap atau haluan (Hall dalam Mappiare, 1992; Aat Sriati, 2008). Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, karena pada periode ini terjadi perubahan fisik dan perkembangan psikologisnya yang pesat, sehingga masa ini sering disertai dengan gejala dan permasalahan baik fisiologis maupun psikologis (Pudigjogyanti, 1995 dalam Aat Sriati, 2008). Masa remaja seringkali dikenal dengan nama mencari jati diri atau disebut dengan identitas ego (Erikcson, dalam Ali & Asrori, 2004 Aat Sriati, 2008). Karakteristik yang sering terjadi pada remaja (Soekanto, dalam Ali & Asrori, 2004; Aat Sriati, 2008): kegelisahan, pertentangan, mengkhayal, aktivitas kelkompok, keinginan mencoba sesuatu.



1.3 Tugas Perkembangan Remaja
Tugas-tugas perkembangan seorang remaja menurut Havighurst (www.geocities.com) adalah sebagai berikut :
 Mencapai suatu hubungan yang baru dan lebih matang antara lawan jenis yan seusia.
 Dapat menjalankan peran sosial maskulin dan feminin.
 Menerima keadaan fisik dirinya sendiri dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif.
 Mengharapakan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
 Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.
 Mempersiapkan karir ekonomi.
 Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
 Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan utnuk berperilkau dan mengembangkan ideologi.
Seorang remaja dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya dapat dipisahkan ke dalam tiga tahap secara berurutan (Kimmel, 1995: 16 dalam www.geocities.com). Tahap yang pertama adalah remaja awal, di mana tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikannya sebagai remaja adalah pada penerimaan terhadap keadaan fisik dirinya dan menggunakan tubuhnya secara lebih efektif.
Tahapan yang kedua adalah remaja madya, di mana tugas perkembangan yang utama adalah mencapai kemandirian dan otonomi dari orang tua, terlibat dalam perluasan hubungan dengan kelompok baya dan mencapai kapasitas keintiman hubungan pertemanan; dan belajar menangani hubungan heteroseksual, pacaran dan masalah seksualitas.
Tahapan yang ketiga adalah remaja akhir, di mana tugas perkembangan utama bagi individu adalah mencapai kemandirian seperti yang dicapai pada remaja madya, namun berfokus pada persiapan diri untuk benar-benar terlepas dari orang tua, membentuk pribadi yang bertanggung jawab, mempersiapkan karir ekonomi, dan membentuk ideologi pribadi yang di dalamnya juga meliputi penerimaan terhadap nilai dan sistem etik.
1.4 Masalah Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Syamsul Arifin (2008), dalam memenuhi tugas perkembangannya, remaja memiliki beberapa kesulitan atau bahaya yang mungkin dialami kaum remaja, antara lain:
1. Variasi kondisi kejiwaan, suatu saat mungkin ia terlihat pendiam, cemberut, dan mengasingkan diri tetapi pada saat yang lain ia terlihat sebaliknya-periang berseri-seri dan yakin. Perilaku yang sukar ditebak dan berubah-ubah ini bukanlah abnormal. Itu hanya perlu diprihatinkan bila ia terjerumus dalam kesulitan, kesulitan di sekolah atau kesulitan dengan teman-temannya.
2. Rasa ingin tahu seksual dan coba-coba, hal ini normal dan sehat. Rasa ingin tahu seksual dan bangkitnya birahi adalah normal dan sehat. Ingat, bahwa perilaku tertarik pada seks sendiri juga merupakan ciri yang normal pada perkembangan masa remaja. Rasa ingin tahu seksual dan birahi jelas menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual.
3. Membolos
4. Perilaku anti sosial, seperti suka mengganggu, berbohong, kejam dan agresif. Sebabnya mungkin bermacam-macam dan banyak tergantung pada budayanya. Akan tetapi, penyebab yang mendasar adalah pengaruh buruk teman, dan kedisiplinan yang salah dari orang tua terutama bila terlalu keras atau terlalu lunak-dan sering tidak ada sama sekali
5. Penyalahgunaan obat bius
6. Psikosis, bentuk psikosis yang paling dikenal orang adalah skizofrenia.



1.5 Teori – Teori Perkembangan Remaja
A. Teori Psikoanalisis
Bagi ahli teori psikoanalisis perkembangan terutama tidak didasari artinya, diluar kesadaran dan sangat diwarnai oleh emosi. Mereka percaya bahwa tingkah laku hanyalah ciri permukaan dan untuk betul-betul memahami perkembangan kita harus menganalisis arti simbolik tingkah laku dan kerja pikiran yang terdalam (Santrock, 2003)
A.1. Teori Freud
Freud (1917) (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa kepribadian mempunyai tiga struktur: id, ego dan superego. Id adalah struktur dari Freud tentang kepribadian yang terdiri dari naluri, yang merupakan sumber energi psikis seseorang. Dalam pandangan Freud, id sepenuhnya tidak disadari; id tidak mempunyai hubungan dengan realitas.
Ketika anak mengalami tuntutan dan hambtan dari realitas, suatu struktur kepribadian baru muncul, yaitu ego, struktur kepribadian yang berfungsi menghadapi tuntutan realitas. Ego disebut sebagai “cabang eksekutif” dari kepribadian karena ego membuat keputusan rasional. Id dan ego tidak mempunyai moralitas. Mereka tidak mempertimbangkan apakah keputusan itu benar atau salah. Superero adalah struktur kepribadian yang merupakan cabang moral dari kepribadian. Superego akan menimbang apakah sesuatu itu benar atau salah. Superego biasa kita sebut “hati nurani” kita.
Freud percaya bahwa kehidupan remaja dipenuhi oleh ketegangan dan konflik. Untuk mengurangi ketegangan ini, remaja menyimpan informasi dalam pikiran tidak sadar mereka, ia juga mengatakan bahwa tingkah laku yang spele pun mempunyai makna khusus bila kekuatan tidak sadar dibalik tingkah laku tersebut ditampilkan.
Bagimana ego mengatasi konflik antara tuntutannya untuk realitas, keinginan id dan kekangan dari superego? Dengan menggunakan mekanisme pertahanan diri (defense mecnism). Ada dua hal penting tentang pertahanan diri. Pertama, mereka tidak disadari; remaja tidak menyadari bahwa mereka menggunakan mekanisme pertahanan untuk melindungi ego mereka dan mengurangi rasa cemas. Kedua, kalau digunakan secara moderat atau sementara waktu, mekanisme pertahanan tidak berakibat negatif. Akan tetapi, individu sebaiknya tidak membiarkan mekanisme pertahanan mendominasi tingkah laku mereka dan menecegah mereka menghadapi tuntutan realitas.
Freud beranggapan bahwa kepribadian masa dewasa ditentukan oleh cara penanggulangan konflik antara sumber kenikmatan pada masa dini,mulut, anus dan genital dengan tuntutan realitas. Kalau konflik ini tidak teratasi, individu mungkin menjadi tertahan pada tahap perkembangan tertentu.
Tahap-tahap permulaan dari perkembangan kepribadian:
1 Tahap oral adalah tahap perkembangan yang pertama, terjadi pada usia 18 bulan pertama, dimana kesenangan bayi berpusat di sekitar mulut.
2 Tahap anal, adalah tahap perkembangan yang kedua, terjadi antara usia 1,5 tahun sampai 3 tahun, dimana kesenangan terbesar anak meliputi anus dan fungsi pembuangan yang berhubungan dengan anus.
3 Tahap Falik adalah tahap perkembangan yang terjadi antara 3 sampai 6 tahun. Selama tahap falik, kesenangan berpusat pada alat kelamin karena anak menemukan bahwa memanipulasi diri sendiri memberikan kenikmatan.Dalam pandangan Freud, tahap falik penting dalam perkembangan kepribadian karena masa inilah kompleks Oedipus timbul. Kompleks Oedipus dalam teori Freud adalah keinginan yang kuat dari anak kecil untuk menggantikan orang tua dari jenis kelamin yang sama dan menikmati afeksi dari orang tua dengan jenis kelamin berbeda
4 Tahap latensi, adalah tahap perkembangan yang terjadi antara usia 6 tahun dan pubertas; anak menekan semua minat seksual dan mengembangkan leterampilan intelektual dan sosial.
5 Tahap genital, adalah tahap perkembagan terakhir, mulai terjadi dari masa pubertas. Tahap genital adalah masa kebangkitan kembali dorongan seksual; sumber kesenangan seksual sekarang adalah orang diluar keluarga.
A.2. Teori Erikson (Santrock, 2003)
1 Percaya versus tidak percaya (trust versus mistrust) adalah tahap psikososial Erikson yang pertama, yang dialami tahun pertama kehidupan. Rasa percaya tumbuh dari adanya perasaan akan kenyamanan fisik dan rendahnya rasa ketakutan dan kecemasan tentang masa depan.
2 Otonomi versus malu dan ragu-ragu (autonomy versus shame and doubt) tahap perkembangan yang terjadi pada akhir masa bayi dan “toddler” (usia 1-3 tahun). Setelah mengembangkan rasa percaya pada pengasuhnya, anak mulai menemukan bahwa tingkah lakunya adalah milik mereka sendiri. Anak mulai menampilkan rasa kemandirian atau otonomi. Mereka menjadi sadar kemauannya sendiri. Kalau anak terlalu di kekang atau dihukum dengan terlalu keras, mereka mungkin mengembangkan perasaan malu dan ragu-ragu.
3 Inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt), terjadi pada masa prasekolah. Anak diminta untuk bertanggung jawab atas badannya, tingkah lakunya dan permainanya. Mengembangkan tanggung jawab akan menimbulkan inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan mungkin timbul pada anak yang tidak bertanggung jawab dan anak yang dibentuk menjadi pencemas. Namun Erikson percaya bahwa kebanyakan rasa bersalah dikompensasikan dengan perasaan berprestasi.
4 Industri vs perasaan rendah diri (industry vs inferiority), terjadi kira-kira pada usia sekolah dasar.
5 Identitas vs kekacauan identitas (identity vs identity confusion), tahap perkembangan yang terjadi pada masa remaja. Pada saat ini individu dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan kemana tujuan hidupnya. Remaja dihadapkan pada banyak peran baru dan status dewasa, misalnya yang menyangkut perkerjaan dan asmara. Orangtua seharusnya memberi kesempatan pada remaja untuk mengeksplorasi peran yang berbeda-beda dan jalan yang berbeda dalam peran tertentu. Bila remaja mengeksplorasi peran tersebut dalam cara yang sehat dan mendapatkan jalan yang positif untuk diikuti dalam hidupnya, suatu identidas yang positif akan terbentuk. Bila suatu identitas dipaksakan kepada remaja oleh orangtua, bila remaja kurang mengeksplorasi peran-peran yang berbeda, dan bila jalan ke masa depan yang positif tidak ditentukan, maka kekacauan identitas terjadi.
6 Intimasi vs isolasi (intimacy vs isolation), tahap perkembangan yang dialami pada masa remaja dewasa awal. Pada masa ini, individu mengalami tugas perkembangan untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain.
7 Generativitas vs stagnasi (generativity vs stagnation), tahap perkembangan yang dialami pada masa dewasa tengah. Kepedulian utamanya adalah membantu generasi yang lebih muda dalam mengembangkan dan membangun hidup yanglebih berguna (generativitas). Stagnasi adalah perasaan individu bahwa ia tidak berbuat apapun untuk membantu generasi penerus.
8 Integritas vs putus asa (integrity vs despair), tahap perkembangan terakhir yang dialami individu pada masa dewasa akhir.

B. Teori Kognitif
Bila teori-teori psikoainalisis menekankan pentingnya pikiran remaja yang tidak disadari, maka teori-teori kognitif memungkinkan pikiran-pikiran sadar mereka.
B.1 Teori Piaget
Piaget menekankan bahwa remaja menyesuaikan pikiran mereka dengan memasukkan gagasan-gagasan baru, karena tambahan informasi akan menambahkan pemahaman. Piaget percaya bahwa kita melewati empat tahapan dalam memahami dunia. Setiap tahap berhubungan dengan umur tertentu dan terdiri dari cara berpikir yang berbeda.

a. Tahap Sensorimotorik (Sensorimotor stage), yang berlangsung dari lahir sampai kira-kira berusia 2 tahun, anak mengkonstruksikan pemahaman mengenai dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman sensori seperti melihat dan mendengar dengan tindakan fisik, motorik. Pada permulaan tahap ini anak hanya mempunyai pola-pola refleks untuk bertindak. Pada akhir tahap ini, anak umur 2 tahun telah mempunyai pola sensorimotorik yang kompleks dan mulai beroperasi dengan simbol-simbol premitif.

b. Tahap Pra Operasional (Pre Operasional Stage), yang berlangsung dari kira-kira 2-7 tahun, anak mulai merepresentasikan dunia dengan kata-kata, citra dan gambar-gambar. Pikiran simbolik sudah lebih dari sekedar hubungan sederhana antara informasi sensoris dan aktivitas fisik.

c. Tahap Operasional Konkret (Concrete Operasional Stage), berlangsung kira-kira dari usia 7-11 tahun. Pada tahap ini anak dapat melakukan operasi dan penalaran logis, menggantikan pemikiran intuitif, sepanjang penalaran dapat diaplikasikan pada contoh khusus atau konkrit.

d. Tahap Operasional Formal (Formal Operasional Stage), yang berlangsung antara usia 11 sampai 13 tahun. Padsa tahap ini individu bergerak melebihi dunia pengalaman yang aktual dan konkrit dan berpikir lebih abstrak serta logis. Sebagai bagian dari kemampuan untuk berpikir lebih abstrak, remaja mengembangkan citra tentang hal-hal yang ideal. Mereka mungkin memikirkan tentang seperti apa orangtua yang ideal dan membandingkan orangtuanya dengan standar ideal ini. Mereka mulai berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan untuk masa depan dan merasa terpesona dengan apa yang mungkin mereka capai. Dalam memecahkan masalah, pemikir operasional formal lebih sistematis, mengembangkan hipotesis tentang mengapa sesuatu terjadi seperti itu, dan kemudian menguji hipotesis ini secara deduktif.






B.2 Teori Pemrosesan Informasi
Pemrosesan informasi (information processing) berhubungan dengan bagaimana individu memproses informasi mengenai dunianya, bagaimana informasi masuk ke pikiran, bagaimana informasi tersebut disimpan dan ditransformasi, dan bagaimana informasi tersebut diambil kembali untuk melakukan aktivitas kompleks seperti memecahkan masalah dan penalaran.
2. TINJAUAN TENTANG KONSEP DIRI
2.1 Pengertian Konsep Diri
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart, 2007). Konsep diri tidak terbentuk waktu lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan dengan realitas dunia.
2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Stuart dan Sudeen dalam Qyonglee (2008) ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari teori perkembangan, significant other (orang yang terpenting atau yang terdekat) dan Self Perception (persepsi diri sendiri).
• Teori perkembangan.
Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pangalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.

• Significant Other ( orang yang terpenting atau yang terdekat )
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi.
• Self Perception ( persepsi diri sendiri )
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.
2.3 Pembagian Konsep Diri
Konsep diri terbagi menjadi beberapa komponen . Pembagian konsep diri tersebut di kemukakan oleh Gail W. Stuart ( 2007), yang terdiri dari :
• Citra tubuh- kumpulan sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi serta perasaan masa lalu dan sekarang tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi.
• Ideal diri- persepsi individu tentang bagaimana dia seharusnya berprilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai personal tertentu.
• Harga diri- penilaian individu tentang nilai personal yang diproleh dengan menganalisis seberapa sesuai prilaku dirinya dengan ideal diri.
• Performa peran- serangkaian pola prilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial. Peran yang ditetapkan adalah peran yang dijalani dan seseorang tidak mempunyai pilihan.
• Identitas pribadi- prinsip pengorganisasian kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi dan keunikan individu.
3. TINJAUAN TENTANG HARGA DIRI
3.1 Pengertian Harga Diri
Harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran penting dan berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu. Coopersmith (1967) (dikutip dalam Burn, 1998) mengatakan bahwa : “Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, keberhargaan”. Secara singkat, harga diri adalah “Personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya”.
3.2 Karakteristik Harga Diri
Menurut Coopersmith (dalam Burn, 1998) harga diri mempunyai beberapa karakteristik, yaitu :
(1) Harga diri sebagai sesuatu yang bersifat umum
(2) Harga diri bervariasi dalam berbagai pengalaman
(3) Evaluasi diri.

Individu dengan harga diri yang tinggi memiliki perasaan yang berasal dari penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan dan kegagalan, tetap merasa sebagai orang yang penting dan berharga (Stuart, 2007). Harga diri yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan di dunia ini. Misalnya seorang remaja yang memiliki harga diri yang cukup positif, dia akan yakin dapat mencapai prestasi yang dia dan orang lain harapkan. Pada gilirannya, keyakinan itu akan memotivasi remaja tersebut untuk sungguh-sungguh mencapai apa yang diinginkan (Tambunan, 2001).

Sebaliknya, remaja yang memiliki harga diri yang negatif akan cenderung merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga. Pada remaja yang memiliki harga diri negatif inilah sering muncul perilaku negatif. Berawal dari perasaan tidak mampu dan berharga, mereka mengkompensasikannya dengan tindakan lain yang, seolah-olah, membuat dia lebih berharga. Misalnya dengan mencari pengakuan dan perhatian dari teman-temannya. Dari sinilah kemudian muncul penyalahgunaan obat atau berkelahi, misalnya, yang dilakukan demi mendapatkan pengakuan dari lingkungannya (Tambunan, 2001).

3.3 Pembentukan Harga Diri
Harga diri mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran yang saling tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara. Interaksi menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya sebagai orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga individu mempunyai perasaan harga diri (Burn, 1998 dalam Aat Sriati, 2008).

3.4 Aspek-Aspek dalam Harga Diri
Coopersmith (1998) (Dalam Aat Sriati, 2008) membagi harga diri kedalam empat aspek:
1) Kekuasaan (power)
Kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain. Kemampuan ini ditandai adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain.

2) Keberartian (significance)
Adanya kepedulian, penilaian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain.

3) Kebajikan (virtue)
Ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan.

4) Kemampuan (competence)
Sukses memenuhi tuntutan prestasi.


3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Diri

Faktor-faktor yang melatarbelakangi harga diri yaitu : (1)
pengalaman; (2) pola asuh; (3) lingkungan; dan (4) sosial ekonomi
(Coopersmith, dalam Burn, 1998; Aat Sriati, 2008).

Pengalaman merupakan suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan, dan kejadian yang pernah dialami individu yang dirasakan bermakna dan meninggalkan kesan dalam
hidup individu (Yusuf, 2000 dalam Aat Sriati, 2008).

Pola asuh merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya yang meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatiannya serta tanggapan terhadap anaknya (Shochih, 1998 dalam Aat Sriati, 2008).

Lingkungan memberikan dampak besar kepada remaja melalui hubungan yang baik antara remaja dengan orangtua, teman sebaya, guru dan lingkungan sekitar sehingga menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam penerimaan sosial dan harga dirinya (Yusuf, 2000 dalam Aat Sriati, 2008). James F Calhoun dan Joan R. A (1995) dalam bukunya Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan, menambahkan satu komponen lingkungan lagi yang turut mempengaruhi harga diri, yaitu masyarakat. Penilaian masyarakat terhadap individu akhirnya sampai kepada anak dan mempangaruhi konsep diri: harga diri.

Sosial ekonomi merupakan suatu yang mendasari perbuatan
seseorang untuk memenuhi dorongan sosial yang memerlukan
dukungan finansial yang berpengaruh pada kebutuhan hidup seharihari (Ali dan Asrori, 2004 dalam Aat Sriati, 2008).

3.6 Harga Diri Remaja
Menurut Flemming & Courtney (1984) dalam Frey (1994) dalam Aat Sriati, (2008), mengemukakan bahwa harga diri pada remaja dibagi menjadi lima aspek, yaitu :
1) Perasaan ingin dihormati
Perasaan ingin diterima oleh orang lain, perasaan ingin dihargai, didukung, diperhatikan, dan merasa diri berguna.

2) Percaya diri dalam bersosialisasi
Merasa percaya diri, mudah bergaul dengan orang lain, baik baru dikenal maupun baru dikenal.

3) Kemampuan akademik
Sukses memenuhi tuntutan prestasi ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengerjakan bermacam-macam tugas pekerjaan dengan baik dan benar.

4) Penampilan fisik
Kemampuan merasa diri punya kelebihan, merasa diri menarik, dan merasa percaya diri.

5) Kemampuan fisik
Mampu melakukan sesuatu dalam bentuk aktivitas, dapat berprestasi dalam hal kemampuan fisik.

.
4. TINJAUAN TENTANG POLA ASUH ORANG TUA
4.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua.
Menurut Rusdijana (2004) pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relative konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negative maupun positif.
4.2 Jenis Pola Asuh Orang Tua
Orang tua ingin remaja mereka bertumbuh menjadi individu yang dewasa secara sosial dan mereka sering kali merasa putus asa dalam peran mereka sebagai orang tua (Santrock, 2003). Menurut Diana Baumrind 1971 dalam Santrock 2003, pola asuh orangtua dapat dibagi menjadi 4:
1. Pengasuhan Autoritarian/ Pola asuh Otoriter
Pengasuhan Autoritarian/ Pola asuh Otoriter adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal.
Pengasuhan authoritarian cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Sebagai contoh, seorang orang tua autoritarian bisa berkata, “Kamu harus melakukan apa yang saya katakana. Tidak ada tawar-menawar!” Remaja yang orang tuanya otoriter sering kali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan dan memiliki komunikasi yang rendah.

2. Pengasuhan Autoritatif/ Pola asuh Demokratis
Pengasuhan Autoritatif/ Pola asuh demokratis mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka, pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja. Seorang ayah yang bersifat autoritatif, contohnya, bisa merangkul si remaja dengan nyaman dan berkata “Kamu tahu, kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Mari bicarakan bagaimana kamu bisa mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik di masa depan”. Remaja yang orang tuanya yang bersifat autoritatif akan sadar diri dan bertanggung jawab secara sosial.
Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih (Rusdijana 2004).
3. Pengasuhan Permisif
Pola asuh Permisif atau pemanja biasanya meberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.
4. Pola asuh Penelantar.
Pola asuh tipe yang terakhir adalah tipe Penelantar. Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya (Rusdijana, 2004)




5. TINJAUAN INSTRUMEN
5.1. Skala Perasaan Harga Diri
Skala ini dirancang oleh Rosenberg (1965) dalam bukunya Society and Adolescent Self Image (Burn, 1993).
5.2. Skala “Bagaimana Saya Melihat Diri Saya Sendiri”

Burns, dalam bukunya Konsep Diri (1993), dijelaskan bahwa skala ini dirancang oleh Gordon (1966), dengan rentang usia responden 8-17 tahun. Skala ini menilai sikap-sikap terhadap bentuk fisik, emosi-emosi, teman sebaya dan sekolah. Bentuk skala bagi anak-anak pra-remaja berisi 40 buah item dan bentuk untuk remaja 42 item. Berikut contoh instrument dari Gordon:
Berilah tanda V pada kotak yang sesuai yang menunjukkan bagaimana perasaan kamu mengenai diri kamu sendiri.
Pernyataan Sangat setuju Setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju
1. Saya merasa bahwa saya seorang yang berharga, setidaknya sejajar dengan yang lainnya.
2. Dalam segalanya, saya cenderung untuk merasa saya seorang yang gagal.
3. Saya merasa saya mempunyai sejumlah sifat yang baik.
4. Saya merasa tidak mempunyai banyak yang dapat dibanggakan.
5. Saya mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan sebaik orang lain.
6. Saya bersikap positif terhadap diri saya sendiri.
7. Secara keseluruhannya, saya merasa puas dengan diri saya sendiri.
8. Saya berharap saya dapat lebih menghargai diri saya sediri.
9. Kadang-kadang saya merasa sebagai orang yang tidak berguna.
10. Kadang-kadang saya berpikir bahwa saya tidak baik sama sekali.

5.3. Skala Konsep Diri Anak- Anak
Skala ini dibuat oleh Piers dan Harris (1964), dengan wilayah usia 8-16 tahun (Burns, 1993). Skala ini merupakan skala yang cakupannya luas yang meliputi penampakan fisik, tingkah laku sosial, status akademis, depresi, ketidakpuasan dan perasaan puas terhadap diri, dengan pertanyaan-pertanyaan yang seimbang antara yang positif dan negative dan diantara refleksi-refleksi konsep diri yang tinggi dan rendah. Instrument aslinya:
Pernyataan Ya Tidak
1. Teman-teman sekelas saya mempermainkan saya
2. Saya seorang yang berbahagia
3. Sulit bagi saya untuk berteman
4. Seringkali saya merasa sedih
5. Saya cerdik
6. Saya seorang pemalu
7. Saya menjadi nervous ketika guru datang menghampiri saya
8. Penampilan saya mengganggu saya
9. Ketika saya tumbuh menjadi dewasa, saya akan menjadi orang penting
10. Saya menjadi cemas ketika kami menjalani ulangan sekolah
11. Saya tidak popular
12. Saya bertingkah laku baik di sekolah
13. Biasanya kesalahan saya bila sesuatu tidak beres
14. Saya yang menyebabkan kesulitan di dalam keluarga saya
15. Saya kuat
16. Saya mempunyai ide-ide yang bagus
17. Saya sebagai anggota keluarga yang penting di dalam keluarga saya
18. Saya biasanya menginginkan cara saya sendiri
19. Saya trampil membuat barang-barang dengan menggunakan tangan saya
20. Saya mudah menyerah
21. Saya pandai di dalam pekerjaan sekolah saya
22. Saya merasa malu tentang banyak hal yang saya lakukan
23. Saya dapat menggambar dengan bagus
24. Saya ber




BAB III METEDOLOGI PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Kerangka penelitian ini dibuat berdasarkan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.
Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam gambar di bawah ini:


















Keterangan: : Area Penelitian
: Tidak Diteliti
Kerangka konsep tersebut menjelaskan bahwa konsep diri: harga diri pada remaja di pengaruhi oleh pengalaman, pola asuh orang tua, lingkungan dan teman sosial ekonomi. Namun pada penelitian ini, peneliti hanya ingin melihat pengaruh pola asuh orang tua terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja. Peneliti berharap melalui penelitian ini, dapat juga mengidentifikasi jenis pola asuh yang pada umumnya membentuk konsep diri: harga diri tinggi (positif) pada remaja dan jenis pola asuh yang membentuk konsep diri: harga diri yang rendah (negatif) pada remaja.

B. Definisi Operasional
1. Variabel: Pola Asuh
• Definisi Konseptual
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu (Rusdijana, 2004).
• Definisi Operasional
Pola prilaku orang tua dalam merawat, membesarkan, mendidik dan memperlakukan anak-anaknya, mulai sejak lahir sampai remaja. Pola asuh orang tua dalam suatu keluarga adalah jenis pola asuh yang paling dominan digunakan dari keempat jenis pola asuh.
• Cara Ukur
Peneliti memberikan pertanyaan terkait pola asuh orang tua terhadap responden (remaja) melalui kuesioner. Pertanyaan yang diberikan dalam bentuk open ended question. Pertanyaan tersebut berjumlah 24 soal, dibagi menjadi 4 bagian, masing-masing 6 soal untuk pola asuh otoriter (no 1, 5, 9, 13, 17, 21), demokratis (no 2, 6, 10, 14, 18, 22), permisif (no 3, 7, 11, 15, 19, 23) dan penelantar (no 4, 8, 12, 16, 20, 24).
• Alat Ukur
• Hasil Ukur
Nilai total tertinggi dari masing-masing tipe pola asuh menunjukkan tipe pola asuh yang dominan dalam keluarga. O: Otoriter, D: Demokratis, P: Permisif, L: Penelantar.
• Skala Ukur
Nominal

2. Variabel: Harga Diri
• Defenisi Konseptual
Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, keberhargaan (Coopersmith, 1967 dalam Burn, 1998)
• Defenisi Operasional
Gambaran dan pernyataan personal remaja tentang nilai dirinya, apakah dapat menerima diri apa adanya, merasa diri berguna, diperhatikan, percaya diri, mudah bergaul dengan orang lain, merasa punya kelebihan, atau sebaliknya.
• Cara Ukur
Memberikan pertanyaan dalam bentuk kuesioner tentang harga diri pada remaja. Pertanyaan yang diajukan berupa 13 pertanyaan yang menggambarkan harga diri positif dan 10 pertanyaan yang menggambarkan harga diri negative (rendah). Pertanyaan tersebut diberikan dengan menggunakan skala Likert, diberi nilai:
o Sangat tidak setuju : 1
o Tidak setuju : 2
o Setuju : 3
o Sangat setuju : 4
• Alat Ukur
Kuesioner B
• Hasil Ukur
Hasil ukur diproleh dengan menghitung hasil jawaban responden dari kuesioner dan kemudian mengkategorikannya dengan mencari cut of point menggunakan nilai mean. Harga diri tinggi apabila total nilai lebih besar atau sama dengan nilai mean, sedangkan untuk harga diri rendah apabila total nilai kurang dari nilai mean
• Skala Ukur
Nominal




DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Syamsul. (2008). “Perkembangan Masa Remaja”. http://www.ipin4u.esmartstudent.com/psiko.htm. Diambil pada 10 November 2008, pukul 18.09 WIB
Burns, R.B. (1993). Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Prilaku; alih bahsa, Eddy; editor Surya Satyanegara. Jakarta: Arcan
Calhoun, James F dan Joan Ross Acocella. (1995). Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Ed. 3. Penerjemah: R.S Satmoko. Semarang: IKIP Semarang Press
Friedman, Marylin M. (1998). Family Nursing: Theory, Research, and Practice. Ed 4. California: Appleton & Lange Stamford Connecticut.
Ma’shum, Y dan Wahyurini, C. (2002). “Memahami Perkembangan Kita”. http://www.e-psikologi.com/epsi/anak_detail.asp?id=350. Diambil pada 10 November 2008 pukul 17.40

Nn. (2008). “Bimbingan Bagi Orang Tua Dalam Penerapan Pola Asuh untuk Meningkatkan Kematangan Sosial Anak”. (http/www.schoolcounselor.org/files/8-1-1%20 Gysbers.pdfl. Diambil pada 29 Oktober 2008 pukul 08. 00 WIB)
Nn. (2008). “Tugas Perkembangan Remaja”. http://www.geocities.com/sebaya01/perkembangan.htm. Diambil pada 10 November 2008, pukul 18.10 WIB
Qumana. 2008. “Konsep Diri”. http://smart-life.co.cc/?p=9. Diambil pada tanggal 10 November 2008 pukul 17.45
Qyonglee . (2008). “Konsep Diri”. http://qyonglee.multiply.com/journal/item/26. diambil pada 12 November 2008, pukul 08. 40 WIB
Rusdijana . (2004). “Rasa Percaya Diri Anak Adalah Pantulan Pola Asuh Orang Tuanya”. http://dwpptrijenewa.isuisse.com/bulletin/?m=200604. Diambil pada 12 November 2008, pukul 08.00 WIB.
Sriati, Aat. 2008. “Harga Diri Remaja.”
http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/HARGA%20DIRI.pdf. Diambi pada 10 November 2008 pukul 17.35
Stuart, Gail W. (2007). Buku Saku Kepeawatan Jiwa. Ed 5. Alih bahasa, Ramona P. Kapoh, Egi Komara Yudha. Jakarta: EGC
Tambunan, Raymond . 2001. “Harga Diri Remaja.” http://www.e-psikologi.com/remaja/240901.htm. Diambil pada 10 November 2008 pukul 18.00
Yanti D.P. (2008). “Perkembangan Konsep Diri.” http://bawana.wordpress.com/2008/04/19/perkembangan-konsep-diri/. Diambil pada 12 November 2008 pukul 08.10 WIB.