Monday 17 August 2009

Pola Asuh Orang Tua Berpengaruh Terhadap Pembentukan Konsep Diri: Harga Diri Pada Remaja*** (Studi Pada Salah Satu SMA Negeri di Depok Tahun 2009)

*Leo Ginting (1305000659), ** Lestari Sukmarini
*Mahasiswa Reguler Angkatan 2005. E-mail: leosiusginting_betterman@yahoo.com
**Pembimbing Riset (Staff Keilmuan KMB FIK-UI)
*** Judul Penelitian: Hubungan pola asuh orang tua dengan pembentukan konsep diri: harga diri remaja.

Abstract
Parenting style influences characteristic children. On behalf that statement, identifying relation parenting style with adolescent’s self concept: self esteem is purpose this research. This research utilized descriptive correlation design that consists of 95 adolescents from one of senior high school in Depok. Collecting data used questioner and was analyzed by Chi Square test with significance level is 0.1 and resulting p value is 0.004. It means there is relationship parenting style with adolescent’s self concept: self esteem. Adolescent who perceived authoritative parenting style reported have higher levels of self concept: self-esteem than adolescents raised in authoritarian and permissive homes, so it is important to re-consider to using authoritarian and permissive parenting style because it makes lower adolescent’s self concept: self esteem.
Key words: adolescents, high self concept: self esteem, low self concept: self esteem, parenting style (authoritarian, permissive and authoritative).

Latar Belakang
Masa remaja merupakan periode tumbuh kembang manusia yang sangat perlu diperhatikan dalam membentuk karakter sikap prilaku sesuai dengan konsep dirinya di kemudian hari. Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga melalui pola asuh orang tua secara kuat sangat mempengaruhi tingkat perkembangan individu dalam pencapaian kesuksesan atau kegagalan dalam pergaulan dalam masyarakat (Friedman, 1998). Melalui pola asuh orang tua, remaja akan mulai belajar mengenai pemahaman diri, rasa percaya dan konsep diri, karena orang tua berperan dalam menentukan ada tidaknya kesempatan anak untuk dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan diri dapat mempengaruhi konsep diri: harga diri pada anak. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian Aat Sriati (2007), yang menunjukkan bahwa training pengembangan diri mampu meningkatkan harga diri remaja. Sama halnya dengan penelitian Scott (1939) dalam Santrock (2003), juga menyatakan bahwa pada keluarga dimana terdapat rasa saling percaya dan kecocokan diantara orangtua dan anak akan membentuk anak yang berpandangan lebih positif tentang diri mereka sendiri.
Dari dua hasil penelitian tersebut, peneliti ingin mengupas lebih spesifik hubungan pola asuh orang tua dan aspek harga diri sebagai salah satu bentuk konsep diri pada remaja. Adapun pertanyaan penelitiannya adalah: apakah ada hubungan pola asuh orangtua dengan pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja, serta bagaimana hubungan masing-masing pola asuh terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada anak remaja.

Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan pola asuh orang tua dengan pembentukan konsep diri: harga diri remaja. Adapun tujuan khususnya adalah:
• Teridentifikasi data demografi responden: usia, jenis kelamin, jumlah anak dalam keluarga, status dalam keluarga, status orang tua tunggal/single, agama dan suku.
• Teridentifikasi jenis pola asuh orangtua.
• Teridentifikasi konsep diri: harga diri responden remaja.
• Teridentifikasi hubungan jenis pola asuh orangtua dengan konsep diri: harga diri pada remaja.
• Teridentifikasi pola asuh yang paling efektif untuk membentuk konsep diri: harga diri remaja positif/ tinggi.

Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini:
H0 : Tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.
H1 : Ada hubungan antara pola asuh orang tua terhadap pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja.




Metodologi Dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi, pendekatan cross sectional dimana yang ingin diketahui adalah hubungan variabel independen (pola asuh orang tua) dengan variabel dependen (pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja di Depok), dimana data demografi sebagai variabel moderator (variabel lain yang dianggap berpengaruh terhadap variabel dependen tetapi tidak mempunyai pengaruh utama). Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis Chi Square.
Responden
Populasi yang ditentukan pada penelitian ini adalah anak remaja awal (early adolescence), antara usia 14 – 17 tahun untuk wanita dan 15 – 17 untuk laki-laki yang berlokasi di Depok. Hal ini disebabkan karena pada rentang usia early adolescene individu dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan kemana tujuan hidupnya, dimana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh peran orang tua/keluarga.
Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah 95 siswa-siswi salah satu SMA Negeri di Depok yang memiliki kriteria: remaja, usia 14 – 17 tahun untuk wanita dan 15 – 17 untuk laki-laki, dapat membaca dan menulis, sehat jasmani dan rohani, tinggal bersama orang tua dan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument berupa kuesioner. Kuesioner terdiri dari tiga bagian besar, yaitu: pernyataan terkait data demografi, pola asuh orang tua dan pernyataan terkait konsep diri: harga diri pada remaja.

Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu data demografi, pola asuh orang tua dan konsep diri: harga diri remaja dan analisis hubungan pola asuh dengan konsep diri: harga diri remaja. Berikut penjelasan masing-masing hasil:

1. Data Demografi
Data demografi yang dianalisis pada penelitian ini terdiri dari: usia, jenis kelamin, jumlah anak dalam keluarga, status dalam keluarga, status orang tua tunggal/single, agama dan suku. Hasil analisisnya ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 5.1
Distribusi Responden Menurut Data Demografi di Salah Satu SMA N di DepokTahun 2009 (n = 95)
Variabel Frekuensi Persentase
Umur (Tahun)
14 1 1,10%
15 24 25,30%
16 29 30,50%
17 33 34,70%
18 8 8,40%
Jenis Kelamin
Laki-Laki 30 31,60%
Perempuan 65 68,40%
Jumlah Anak Dalam Keluarga
1 Orang 3 3,20%
2 Orang 26 27,30%
3 Orang 42 44,20%
4 Orang 14 14,70%
5 Orang 5 5,30%
> 5 Orang 5 5,30%
Status Responden Dalam Keluarga
Anak Kandung 92 96.8 %
Anak Angkat 2 2.1 %
Dll 1 1.1 %
Tabel 5.1
Distribusi Responden Menurut Data Demografi di Salah Satu SMA N di Depok Tahun 2009 (n = 95)

Variabel Frekuensi Persentase
Status Orang Tua Responden
Orang Tua Single 8 8.4 %
Orang Tua Tidak Single 87 91.6 %
Agama
Islam 83 87.4 %
Khatolik 2 2.1 %
Protestan 10 10.5 %
Suku Bangsa
Jawa 51 53.6 %
Sunda 16 16.8 %
Betawi 9 9.5 %
Batak 6 6.3 %
Dll (Campuran) 5 5.3 %
Minang 3 3.2 %
Padang 3 3.2 %
Melayu 2 2.1 %

Tabel diatas menunjukkan bahwa rentang umur responden pada penelitian ini adalah 14-18 tahun dengan modus 17 tahun, jenis kelamin terbanyak adalah permpuan, modus jumlah anak dalam keluarga adalah 3 orang, status responden mayoritas adalah anak kandung dan status orang tuanya tidak tunggal, agama mayoritas dan suku terbanyak masing-masing adalah agama Islam dan suku Jawa.

2. Pola Asuh Orang Tua
Data dan hasil analisis penelitian terkait pola asuh menggambarkan bentuk pola asuh orang tua yang diterapkan pada remaja di salah satu SMA N di Depok dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel diatas menunjukan data bahwa dari ketiga jenis pola asuh orang tua maka pola asuh orang tua yang diterapkan pada remaja yang paling banyak adalah pola asuh demokratis (41,1 %) dan pola asuh yang paling sedikit adalah pola asuh permisif (28,4 %).
3. Konsep Diri: Harga Diri
Hasil analisis data konsep diri: harga diri pada remaja dapat dilihat pada diagram 5.2 berikut.
Diagram 5.2
Distribusi Persentase Konsep Diri: Harga Diri Remaja pada Salah Satu SMA N di DepokTahun 2009

Distribusi konsep diri: Harga diri responden (remaja) antara konsep diri: harga diri rendah dan konsep diri: harga diri tinggi tidak memiliki perbedaan angka yang signifikan. Diagram di atas memperlihatkan 47.4 % memiliki konsep diri: harga diri tinggi, dan sisanya dengan konsep diri: harga diri rendah (52.6 %).

4. Hubungan Pola Asuh dengan Konsep Diri: Harga Diri
Hasil identifikasi hubungan pola asuh orang tua dengan konsep diri: harga diri remaja mendapatkan nilai p adalah 0.004. Hasil ini lebih kecil dari α (0.1) yang berarti bahwa Ho ditolak, dengan kata lain ada hubungan pola asuh orang tua dengan pembentukan konsep diri: harga diri pada remaja. Hubungan kedua variabel tersebut dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2
Distribusi Responden Pada Analisis Chi Square
Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Konsep Diri: Harga Diri Remaja
di Salah Satu SMA N di Depok Tahun 2009 (n = 95)
Pola Asuh Konsep Diri: Harga Diri Remaja Total p Value

0.004
Harga Diri Tinggi Harga Diri Rendah
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Otoriter 12 41.4 17 58.6 29 100
Permisif 7 25.9 20 74.1 27 100
Demokratis 26 66.7 13 33.3 39 100
Total 45 47.4 50 52.6 95 100

Pada tabel diatas dapat dijelaskan bahwa setiap tipe pola asuh memberi pengaruh yang berbeda terhadap konsep diri: harga diri pada remaja. Pola asuh otoriter berkontribusi membentuk konsep diri: harga diri tinggi lebih rendah dari konsep diri: harga diri rendah. Sama halnya dengan pola asuh permisif, pola asuh tipe ini membentuk konsep diri: harga diri tinggi lebih kecil dari konsep diri: harga diri rendah, bahkan apabila dibandingkan dengan kedua jenis pola asuh lainnya, pola asuh permisif membentuk persentase konsep diri dengan harga diri tinggi yang paing sedikit. Berbeda dengan kedua pola asuh diatas, pola asuh demokratis justru membentuk konsep diri: harga diri tinggi pada remaja (66,7 %) lebih besar jika dibandingkan dengan konsep diri: harga diri rendah (33,3 %).
Pembahasan
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter (30,5 %) berpotensial membentuk konsep diri: harga diri remaja rendah (58,6 %). Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat beberapa ahli dan penelitian sebelumnya. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab tinjauan pustaka bahwa pola asuh otoriter memiliki sifat menghukum dan mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua. Orang tua cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti dan biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Petranto (2006) menjelaskan pola asuh yang demikian akan membentuk anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri (harga diri rendah).
Hampir sama dengan otoriter, pola asuh permisif juga menghasilkan kemungkinan bahwa pola ini akan membentuk persentase yang lebih besar terhadap konsep diri: harga diri rendah dibandingkan dengan konsep diri: harga diri tinggi. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menerapkan pola asuh permisif (28,4 %) akan mendapatkan persentase konsep diri: harga diri rendah adalah 74,1 % sementara konsep diri: harga diri tinggi hanya 25,9 %. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola asuh permisif memiliki peluang hampir 3 kali lebih besar membentuk konsep diri: harga diri rendah dibangingkan harga diri tinggi. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.3
Distribusi Responden Pada Analisis Chi Square
Hubungan Pola Asuh Orang Tua Permisif dengan Konsep Diri: Harga Diri Remaja
di Salah Satu SMA N di Depok Tahun 2009 (n = 95)
Pola Asuh Konsep Diri: Harga Diri Remaja

Harga Diri Tinggi Harga Diri Rendah
Frekuensi % Frekuensi % OR (CI 95 %) p Value
Permisif 7 25.9 20 74.1 3.62 (1.35-969) 0.015
Tabel 5.3 memperlihatkan nilai odds ratio (OR) pola asuh permisif adalah 3,62. Nilai tersebut berarti orang tua yang menerapkan pola asuh permisif mempunyai peluang 3,62 kali membentuk remaja dengan konsep diri: harga diri rendah. Hasil tersebut juga sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pola asuh permisif akan menghasilkan anak yang kurang percaya diri. Hal ini terjadi karena pola asuh ini cenderung memanjakan anak-anaknya dan tidak ada peraturan dan pembatasan-pembatasan yang jelas bahkan menurut Petranto (2006) orang tua dengan pola asuh permisif cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Akibat dari pengalaman yang terbatas dan kehidupan mental masih belum matang, maka anak termasuk remaja akan sulit membuat keputusan tentang perilaku mana yang sesuai dengan harapan sosial, mereka tidak tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Sebagai hasil dari itu mereka cenderung untuk menjadi ketakutan, gelisah, dan memiliki konsep diri: harga diri yang rendah.
Berbeda dengan kedua pola asuh diatas, pola asuh demokratis membentuk potensi konsep diri: harga diri tinggi yang lebih besar dari pada konsep diri: harga diri rendah. Dengan menerapkan pola asuh demokratis (41,1 %), konsep diri: harga diri tinggi dibentuk 66,7 %, lebih tinggi dari konsep diri: harga diri rendah (33,3 %). Hasil ini memperlihatkan bahwa pola asuh demokratis cenderung menghasilkan konsep diri: harga diri remaja yang tinggi (positif) 2 kali lebih besar dibandingkan dengan konsep diri: harga diri yang rendah.
Tabel 5.4
Distribusi Hubungan Pola Asuh Orang Tua Permisif dengan Konsep Diri: Harga Diri Remaja di Salah Satu SMA N di Depok Tahun 2009 (n = 95)

Pola Asuh Konsep Diri: Harga Diri Remaja

Harga Diri Tinggi Harga Diri Rendah
Frekuensi % Frekuensi % OR (CI 95 %) p Value
Demokratis 26 66.7 13 33.3 0.26 (0.11-0.61) 0.003
Hasil penelitian ini didukung pula oleh pernyataan yang menjelaskan bahwa dengan mendorong anak remaja untuk selalu berupaya, menerima kelebihan dan kekurangannya, dan memberikannya pujian dan hadiah pada perilakunya yang benar dan mengingatkan jika salah akan mengarahkan remaja untuk memiliki rasa percaya diri. Hal-hal tersebut sepenuhnya dapat dilihat dari karakteristik pola asuh demokratis yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
Ketiga hasil penelitian diatas yang terkait hubungan jenis pola asuh terhadap pembentukan konsep diri: harga diri remaja juga didukung oleh beberapa penelitian. Penelitian Papalia & Olds (1993) dalam Petranto (2006) mendapatkan orang tua yang hangat, responsif dan memiliki harapan-harapan yang realistik akan meningkatkan harga diri anak (pola asuh demokratis), sedangkan orang tua yang perfeksionis, suka mengkritik, terlalu mengontrol atau terlalu melindungi, memanjakan, mengabaikan, serta tidak memberikan batasan-batasan atau aturan-aturan yang jelas dan konsisten akan menurunkan tingkat harga diri anak (pola asuh otoriter dan permisif).
Penelitian Isabel Martínez dan José Fernando García (2008) di Brazil yang dilakukan terhadap 1.198 remaja juga menghasilkan hal yang sama; remaja yang tumbuh dalam keluarga yang menerapkan pola asuh demokratis membentuk konsep diri: harga diri remaja yang lebih tinggi dari pada remaja yang tumbuh di keluarga otoriter dan permisif. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa ada beberapa penelitian diberbagai negara seperti di negara-negara Eropa utara, Italy, Spayol dan di Amerika Selatan yang meneliti hal yang sama dan hasilnya juga mendukung hasil penelitian ini, antara lain: Chao, 1994, 2001; Darling & Steinberg, 1993; Dornbusch, Ritter, Leiderman, Roberts, & Fraleigh, 1987; Dwairy et al., 2006; Kirn & Rhoner, 2002; Marchetti, 1997; Musitu & Garcia, 2004; Quoss & Zhao, 1995; Steinberg et al., 1991 dan Villalobos et. al., 2004.
Hasil perbandingan pola asuh orang tua dengan konsep diri: harga diri remaja, kita mengetahui bahwa total persentase pola asuh orang tua yang paling banyak diterapkan dalam keluarga adalah pola asuh demokratis, tetapi konsep diri: harga diri remaja yang paling banyak teridentifikasi adalah konsep diri dengan harga diri rendah. Apabila ditinjau ulang, dengan penerapan pola asuh orang tua yang paling banyak adalah demokratis, maka seharusnya konsep diri: harga diri remaja yang teridentifikasi adalah konsep diri dengan harga diri tinggi. Kontradiksi hasil ini menunjukan bahwa yang mempengaruhi pembentukan konsep diri: harga diri remaja tidak hanya dari pola asuh orang tua, namun ada faktor-faktor lain yang juga turut berkontribusi membentuk konsep diri: harga diri remaja.
Interpretasi analisis ke 3 tiga pola asuh diatas menunjukkan bahwa pola asuh otoriter dan permisif kurang baik terhadap pembentukan konsep diri: harga diri remaja, maka penerapan ke dua jenis pola asuh ini dalam keluarga perlu ditinjau kembali. Pola asuh yang paling efektif untuk membentuk konsep diri: harga diri yang tinggi pada remaja adalah pola asuh demokratis.
Kesimpulan
Penelitian ini mendapatkan bahwa rentang usia responden 14-18 tahun dan yang paling bayak 17 tahun, usia responden mayoritas adalah perempuan, jumlah anak dalam keluarga yang paling banyak adalah 3 orang, status anak dalam keluarga dan status orang tua yang paling banyak adalah anak kandung dan orang tuanya tidak tunggal (tidak single parent), agama mayoritas adalah Islam dan suku yang paling banyak adalah suku Jawa. Sementara pola asuh orang tua yang paling banyak diterapkan adalah pola asuh demokratis, tetapi konsep diri yang terbentuk paling banyak adalah harga diri rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada faktor lain yang mempengaruhi pembentukan konsep diri: harga diri remaja.
Dari hasil analsisi hubungan terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan pembentuan konsep diri: harga diri remaja. Setiap jenis pola asuh orang tua memberi pengaruh yang berbeda terhadap konsep diri: harga diri remaja. Pola asuh yang paling efektif untuk membentuk konsep diri: harga diri remaja positif adalah demokratis, sementara pola asuh otoriter dan permisif memberi pengaruh yang kurang baik terhadap konsep diri: harga diri remaja.

Rekomendasi
1. Pada penelitian ini hubungan variabel moderator (data demografi) terhadap variabel dependen (Konsep diri: harga diri) belum tergali secara mendalam. Oleh karena itu ada baiknya setiap data demografi dicari asosiasi dengan konsep diri: harga diri remaja. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi data demografi yang memiliki asosiasi atau hubungan yang paling dominan terhadap konsep diri: harga diri remaja, sehingga dapat diidentifikasi secara generalisir faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri remaja selain pengalaman; pola asuh; lingkungan; dan sosial ekonomi.
2. Secara teori kita mengetahui faktor yang mempengaruhi konsep diri: harga diri. Namun secara empiris belum banyak yang meneliti hubungan pengalaman, lingkungan, sosial ekonomi terhadap konsep diri: harga diri remaja, karena perlu penelitian lebih lanjut.
3. Melalui pendidikan kesehatan dapat disampaikan kepada masyarakat bahwa penerapan pola asuh otoriter dan permisif sebagai yang paing dominan perlu dipertimbangkan lagi, karena memberi efek yang kurang baik terhadap pembentukan konsep diri: harga diri remaja.

Daftar Pustaka
Friedman, Marylin M. (1998). Family nursing: Theory, research, and practice.
(4th Ed). California: Appleton & Lange Stamford Connecticut.
Martínez, I, & García, J F. (2008). Internalization of values and self-esteem among brazilian teenagers from authoritative, indulgent, authoritarian, and neglectful homes. Jurnal of Adolescence. Roslyn Heights: Spring 2008. Vol. 43, Iss. 169; pg. 13, 17 pgs.
Petranto, I. (2006) Rasa percaya diri anak adalah pantulan pola asuh orang tuanya. http://dwpptrijenewa.isuisse.com/bulletin/?m=200604. Diambil pada 12 November 2008, pukul 08.00 WIB.
Santrock, J.W. (2003). Adolescent. (7th Ed). USA: The Mc Graw Hill
Sriati, Aat dan Taty Hernawati. (2007). Pengaruh training pengembangan diri terhadap pengembangan harga diri putri homoseksual di desa Cibeureum kecamatan Cimalaka kabupaten Sumedang. http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/LAP%20AKHIR%20SKW.pdf. Diambil pada 19 February 2009 pukul 11.35 WIB.

HASIL PA YAKOBUS 3:1-12 (DOSA KARENA LIDAH)

Latar Belakang

• Penulis
Penulis kitab Yakobus adalah Yakobus sendiri (Yak 1:1), dan dia mungkin adalah saudara laki-laki Yesus, dan memimpin dewan Jerusalem. Ada 4 orang yang memiliki nama Yakobus di NT, dan penulis kitab ini bukanlah Rasul Yakobus yang sudah meninggal sebelum kitab ini dituliskan dan tidak pula 2 orang Yakobus lainnya.

Yakobus adalah satu dari beberapa saudara laki-laki Yesus dan kemungkinan yang paling tua karena di Mat 13:55 namanya disebutkan paling awal. (Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas?).
Pada awalnya ia tidak percaya kepada Yesus dan bahkan menantang Yesus dan tidak memahami misiNya, sampai pada akhirnya ia menjadi orang yang sangat terkemuka di gereja:
• Kepada Yakobus Yesus menampakkan diriNya setelah kebangkitanNya (1 Kor 15:7 Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul).
• Paulus menyebutnya “pillar” (tiang, sendi, sokoguru) gereja (Gal 1:19 Dan setelah melihat kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, maka Yakobus, Kefas dan Yohanes, yang dipandang sebagai sokoguru jemaat, berjabat tangan dengan aku dan dengan Barnabas sebagai tanda persekutuan, supaya kami pergi kepada orang-orang yang tidak bersunat dan mereka kepada orang-orang yang bersunat).
• Paulus dalam perjalanannya ke Jerusalem, melihat Yakobus (Gal 1:19 Tetapi aku tidak melihat seorangpun dari rasul-rasul yang lain, kecuali Yakobus, saudara Tuhan Yesus).
• Paulus melihat hal yang sama dalam perjalanannya yang terakhir.
• Ketika Petrus ditolong dari penjara, ia memanggil Yakobus sebagai temannya. (Kis 12:17)
• Yakobus adalah pemimpin yang berperan penting dalam dewan Jerusalem (Kis 15:13 Setelah Paulus dan Barnabas selesai berbicara, berkatalah Yakobus: "Hai saudara-saudara, dengarkanlah aku)

Yakobus meninggal sebagai martir (c. A.D 62)


2) Waktu Penulisan
Diperkirakan surat ini ditulis awal tahun 60an.

3) Penerima
Penerimanya secara eksplisit di sebutkan dalam Yak 1:1 “kepada kedua belas suku di perantauan”. Beberapa mendapatkan bahwa kitap ini ditujukan kepada semua orang Kristen, tetapi pada waktu itu ditujukan untuk ‘kedua belas suku’ orang Yahudi Kristen. Penerimanya orang Kristen jelas terlihat dari Yak 2:1 (Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka), 5:7-8. Ini artinya sangat masuk akal jika penerimanya tersebut adalah orang-orang percaya dari Jerusalem, yang setelah kematian Stefanus sebagai martir tersebar sejauh Phoenicia, Cyprus, dan Syrian Antioch.
Pengetahuannya yang sangat mendalam tentang pembacanya terlihat jelas dalam surat ini. Yakobus sangat mengetahui tentang kondisi pembacanya (pada saat itu).
Sebagai pemimpin gereja Yerusalem, Yakobus menulis surat ini sebagai pastor untuk memerintahkan dan mendorong jemaat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan.

4) Karakteristik Khusus
Karakteristik yang membuat surat ini istimewa adalah:
• Sudah pasti nature Yahudi
• Penekanannya pada dasar-dasar kristiani, dikarakteristikkan dengan perbuatan baik dan iman yang tetap bekerja (iman sejati harus dan akan diikuti oleh life-style yang konsisten baik)
• Penyusunannya mudah dipahami
• Mirip dengan teknik yang digunakan Yesus dalam Khotbah di Bukit
• Mirip seperi pribahasa/perumpamaan
• Orang Yunanai yang excellent

5) Outline Kitab
I. Salam (1:1)
II. Pencobaan dan Godaan (1:2-18)
a. Ujian iman (1:2-12)
b. Sumber godaan (1:13-18)
III. Mendengar dan Melakukan (1:19-27)
IV. larangan terhadap sikap pilih kasih (2:1-13)
V. Iman dan tindakan (2:14-26)
VI. Penjinakan lidah (3:1-12)


Yuukkk Mulai PA perikopnya…. Yuk!!!

Jesus bless me and help me knowing Your purpose by this letter…


James 1:1-12 (Taming The Tongue) means Yakobus 1:1-12 (Dosa karena Lidah), EXELLENT Leo!!!!!!! (penting ya????)


Outline perikpnya menurut aku:
1. ayat 1-4 perumpamaan/ pengibaratan tetang lidah
2. ayat 5-8 fakta tentang lidah
3. ayat 9-12 nasihat Yakobus b.d lidah


Kita pa kan per ayat ya..

1 Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.

… sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat. Tugas seorang guru adalah mengajari, mendidik orang lain dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap anak didiknya, guru dijadikan teladan oleh anak didiknya dan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar. Jangan sampai guru mengajari muridnya tetapi ia sendiri tidak melakukan apa yang ia ajarkan.
Yakobus mau mengingatkan jemaat untuk tidak munafik, mengajari orang, tapi ia sendiri tidak melakukannya dan juga tidak menghakimi orang lain.

Mat 7:1 "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.
Roma 2:21 Jadi, bagaimanakah engkau yang mengajar orang lain, tidakkah engkau mengajar dirimu sendiri? Engkau yang mengajar: "Jangan mencuri," mengapa engkau sendiri mencuri?

Kalau di bawa dalam kehidupan kita sehari hari, bukan berarti menjadi guru di instansi pendidikan dilarang, tatapi maksudnya jangan terlalu gampang men-judge dan sok-sok menasihati orang lain. Akan sangat lebih baik jika kita mengajari orang lain melalui perbuatan kita, biar orang lain melihat apa yang kita lakukan, bukan apa yang kita katakan.

Refleksi pribadiku, sepertinya selama ini seringnya aku masih munafik ke orang lain. Hiks..

2 Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.

I raja2 8:46 Apabila mereka berdosa kepada-Mu—karena tidak ada manusia yang tidak berdosa—dan Engkau murka kepada mereka dan menyerahkan mereka kepada musuh, sehingga mereka diangkut tertawan ke negeri musuh yang jauh atau yang dekat,
Dari ayat ini, di ingatkan lagi bahwa semua manusia berdosa

Mzr 39:2 (39-2) Pikirku: "Aku hendak menjaga diri, supaya jangan aku berdosa dengan lidahku; aku hendak menahan mulutku dengan kekang selama orang fasik masih ada di depanku."
1 Perus 3:10 "Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu”

Orang sempurna… Orang yang sudah dapat mengontrol lidahnya berarti orang tersebut dapat mengontrol seluruh aspek kehidupannya.
Jadi kuncinya disini adalah lidah, kalau sudah bisa mengontrol lidah, maka amanlah seluruh hidupnya. Perfect person!!!. Tapi masalahnya tidak ada satu orangpun yang bisa mengontrol lidahnya sendiri.

Mat 12:37 Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum

… dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya
NIV… able to keep his whole body in check
Yakobus 1:26 Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.

Diingatkan lagi kepada kita kalaupun kita rajin beribadah, rajin kegereja, namun apabila lidah kita belum dapat kita kontrol artinya kita masih ada masalah dengan orang lain akibat perkataan kita, ibadah kita tidak ada artinya, sia-sia.
So, marilah saling memaafkan dulu, jangan ada dusta diantara kita..

3 Kita mengenakan kekang pada mulut kuda, sehingga ia menuruti kehendak kita, dengan jalan demikian kita dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.
4 Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil menurut kehendak jurumudi.
5 Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar.

(Mzr 12-3) Mereka berkata dusta, yang seorang kepada yang lain, mereka berkata dengan bibir yang manis dan hati yang bercabang. (12-4) Biarlah TUHAN mengerat segala bibir yang manis dan setiap lidah yang bercakap besar,

Mzr 32:9 Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, kalau tidak, ia tidak akan mendekati engkau.

Dari ayat 3-5 adalah penjelasan ayat 2. Dari ayat 3 Yakobus mengambil contoh kuda. Kuda yang mulutnya dikekang, maka kita dapat mengontrol kuda itu, mau di bawa kemana suka-suka kita, di suruh lari atau berhenti dapat kita lakukan dengan menarik tali yang menempel di mulutnya. Sama halnya dengan kapal. Kemudinya di ibaratkan sebagai mulut kapal.
Lidah dapat menjadi sumber masalah besar. Seperti ada pepatah mengatakan mulutmu adalah harimaumu. Dengan organ kecil ini dapat memicu pertengkaran kecil sampai pertengkaran besar, ejek mengejek bahkan dapat menimbulkan pembunuhan dsb. Lidah, walaupun ia kecil namun dapat membakar dunia!!! Wow..!!!

6 Lidahpun adalah api1; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh2 dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.

1. (Amsal 16:27 Orang yang tidak berguna menggali lobang kejahatan, dan pada bibirnya seolah-olah ada api yang menghanguskan).
2. (Mat 15: 11 "Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang." 18 Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.)


… suatu dunia kejahatan, dalam NIV world of evil
… dinyalakan oleh api neraka, dalam NIV set on fire by hell. Artinya lidah yang adalah api, dinyalakan oleh api neraka, sumber dari kejahatan yang ditimbulkan oleh lidah adalah setan. Orang yang mendatangkan kejahatan lewat mulutnya berarti setan/iblis masih menguasai dia

(Mat 5:22, Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Dari ayat 6 ini jelas terlihat bahwa lidah dapat mendatangkan masalah dalam diri manusia itu, dapat menodai seluruh tubuh, membuat Nazis, mendatangkan kejahatan. Orang yang mendatangkan kejahatan lewat mulutnya berarti setan/iblis masih menguasai dia

7 Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang-binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia,
8 tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan.
9 Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah1,

1. kej 1: 26 Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."

… diciptakan menurut rupa Allah. NIV in God’s likeness. Artinya setelah manusia diciptakan Allah menurut rupaNya, apabila memaki, menutuk manusia berarti memaki, mengutuk Allah juga.
Jadi tidak boleh suka memaki-maki orang lain juga, bergosip ya…

10 dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.
11 Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama?
12 Saudara-saudaraku, adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara?1 Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar.


1. Mat 7:16 Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri?

Ayat 10-12 ini merupakan nasihat Yakobus, agar setiap orang berusaha untuk menjaga mulutnya. Sebab tidak mungkin dari mata air yang sama keluar air tawar dan air pahit. It is just so with the tongue, tidak boleh keluar berkat dan kutukan dari mulut yang sama. Becarefull !!!


Jadi yang aku dapatkan dari perikop ini adalah fakta bahwa sangat sulit untuk menjinakkan lidah. Lidah yang belum jinak, artinya lidah yang masih sulit dikontrol, akan menimbulkan berbagai masalah, persoalan hidup dengan sesama manusia, termasuk juga Allah.
Yakobus mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan lidah, walaupun ia organ yang kecil namun ia dapat menimbulkan masalah yang sangat besar. Kita sebagai orang-orang yang sudah mengenal Kristus harus bisa untuk mulai mengontrol lidah kita, mengupayakan supaya kata-kata yang keluar dari mulut kita adalah kata-kata yang membangun, bukan kata-kata yang mencaci atau menjatuhkan orang lain.

Tentunya ini bukan pekerjaan yang mudah, apalagi kita hidup dalam lingkungan yang sangat beragam; teman-teman yang berbeda suku, ras, daerah, agama, dan kita termasuk golongan yang minoritas dalam komunitas kampus kita. Bahkan yang sama-sama Kristen pun masih sangat sering muncul masalah, kaarena perbedaan karakter, pendapat. Dan itu sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik. Dalam situasi yang beragam itulah perlunya kemampuan kita sebagai anak-anak Tuhan untuk dapat mengontrol lidah kita, agar kita berhati-hati dengan ucapan kita. Tidak mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan atau menyinggung perasaan orang lain.

Terus diingatkan lagi, kalau sebagai manusia kita harus memilih: apakah kita hidup dengan mau untuk mengontrol lidah kita, atau hidup tanpa ada usaha untuk mengontrl lidah. Sebab tidak mungkin dari mulut yang sama keluar pujian dan berkat sekaligus. Sebagai anak-anak Allah, kita harus mengusahakan agar lidah kita/ mulut kita mengeluarkan pujian, pujian yang menyenangkan hati Allah dan sesama manusia di komunitas kita masing-masing.



Refleksi pribadi.
Dalam kehidupanku secara pribadi, masih sangat sering mengeluarkan kata-kata kasar. Maksud hatiku sebenarnya bukan untuk menyakiti hati orang lain, just kidding. Tapi hati orang siapa yang tahu. Mungkin bagiku kata-kata itu tidak menyakitkan, tetapi bagi orang lain mungkin itu bisa saaaangat menyakitkan. Hal itu yang selama ini kurang aku sadari, apalagi pada awal masa perkuliahan.

Tetapi aku sangat bersyukur ada dalam komunitas Pertiwat. Melalui setiap wadah pembinaan yang ada, aku merasa sedang dalam masa PROCESSING, untuk berhati-hati dalam berkata-kata. Aq sudah mulai menyadari kalau, kata-kata yang perlu aku perbanyak adalah kata-kata yang bermanfaat, yang bisa membangun orang lain, tanpa harus menyakiti hatinya. Walaupun harus mengkritik orang lain, bisa di sampaikan dengan pelan-pelan.

Satu hal lagi yang cukup mengena dari perikop ini adalah aku sering langsung menghakimi orang lain (walaupun seringnya dalam hati), tanpa aku pikirkan terlebih dahulu mengapa ia melakukan hal itu ( yang menurut pandanganku salah) dan aku tidak sadari, tidak refleksi diri terlebih dahulu.

Dan yang menjadi komitmenku dari perikop ini adalah:
◦ Mulai dari sekarang (umumnya), dalam waktu 1 bulan setelah perkuliahan aktif (khususnya), aku akan selalu mengeluarkan kata-kata yang membangun, misalnya pujian.
◦ Mulai dari sekarang aku tidak boleh lagi mudah menghakimi orang lain, harus berpikir positif!!!